YOGYAKARTA -- Mahalnya harga beras di masa krisis,Republika-Online: Jum'at, 31.07.1998http://www.republika.co.id/9807/31/138.htm
UGM 'Temukan' Makanan Pengganti Beras
Temuan 'baru'' yang diberi nama ''nasi millet'' ini, sebenarnya
bukan hal baru di kalangan masyarakat. Sebab aslinya
bahan ini memang dibuat dari sorgum yang selama ini oleh
para petani hanya dijadikan tanaman sela.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Laboratorium
Rekayasa Proses, Jurusan Tehnologi Pengolahan Hasil
Pertanian FTP, seperti yang dikatakan Dr Ir Harjadi,
kandungan gizinya tidak terlalu jauh dengan beras. Bahkan
hampir sama. ''Dibanding jagung atau tiwul, jauh lebih baik.
Termasuk rasa dan 'bentuknya', tidak terlalu berbeda
dengan nasi beras,'' tuturnya.
Proses pembuatan biji sorgum --yang kulitnya berwarna
coklat tua-- sampai tahap siap tanak (dimasak), tak jauh
berbeda dengan padi. Hanya saja, proses pengupasan
kulitnya, tidak bisa memakai alat yang biasa dipakai untuk
mengupas kulit padi. Pengupasan kulit sorgum itu, hanya
dilakukan di beberapa bagian saja, karena biji sorgum lebih
kecil dibanding padi.
Dari hasil uji coba, setiap dua kilogram sorgum dengan KA
(kadar air) 12-14%, mampu menghasilkan biji beras
sebanyak 44,5%. Sementara dari sisi ekonomi, harga sorgum
relatif lebih murah, karena hanya sepertiga dari harga padi.
''Jadi, kalau tanaman yang sekarang baru merupakan
tanaman sela ini, kalau dikembangkan, akan sangat
menguntungkan petani. Bahkan mampu mengurangi biaya
sembako rakyat,'' tutur Dekan FTP, Prof Dr Ir Kapti Rahayu.
Di samping itu, tanaman ini karena kulitnya yang cukup
keras, mampu bertahan dari serangan hama. Dan, karena
jenisnya seperti tanaman jagung, akan sangat cocok kalau
ditanam dan dikembangkan dilahan kering. Bahkan tanaman
yang siap panen dalam usia 103 hari ini, bisa dipanen dalam
dua kali. Artinya, kalau pohonnya ditebang dan disisakan
batangnya, bisa tumbuh lagi, seperti tebu atau pisang.
Masih menurut Kapti Rahayu, di samping bisa dibuat sebagai
pengganti nasi, sorgum bisa dibuat mihun. ''Itu sudah
dikembangkan di Solo,'' katanya. Bahkan ada bagian yang
sebenarnya dibuang, ternyata bisa menjadi komoditi ekspor,
yakni ke Jepang.
Menurutnya, penelitian itu diawali dengan permintaan Kepala
Dinas Perindustrian Klaten, yang membawa contoh sorgum
ini ke UGM. Mereka minta agar UGM mau 'menolong'
pihaknya, untuk apa saja sorgum ini. ''Jadi, berangkat dari
permintaan Kadis Perindustrian Klaten inilah, kami lantas
melakukan penelitian, sekaligus uji coba,'' paparnya. bsu