Status Gizi
Berbagai upaya untuk mengatasi masalah gizi telah dilakukan oleh pemerintah antara lain melalui Program Upaya Perbaikan Gizi Keluarga (UPGK), pemberian kapsul vitamin A untuk anak 1-4 tahun, distribusi kapsul yodium untuk penduduk pada daerah rawan Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY), pemberian tablet Fe untuk ibu hamil dan upaya yang lain yang berhubungan dengan peningkatan produksi pangan dan pendapatan masyarakat. Pada dasarnya upaya tersebut dilakukan secara terpadu antar sektor.
Untuk mengukur keadaan gizi anak balita saat ini digunakan standard NCHS-WHO untuk indeks berat badan menurut umur. Sedangkan Kekurangan Energi Protein (KEP) pada balita dibagi menjadi dua kategori yaitu : kategori I atau KEP Nyata (BB/U <70 % tehadap median baku WHO-NCHS) dan kategori II (BB/U 70-79,9% terhadap median baku WHO-NCHS). Sedangkan KEP Total adalah kategori I sama dengan kategori II.
Tampak ada penurunan status KEP anak balita di Indonesia. Target pada akhir Pelita VI untuk KEP Total sebesar 30%, ternyata berdasarkan hasil pemantauan Status Gizi (PSG) tahun 1994 prevalensi KEP Total secara Nasional menunjukkan angka 29%. Sedangkan dari hasil PSG tahun 1995 sebesar 28,6%.
Dari hasil PSG tahun 1994 dan 1995 terlihat ada 10 propinsi yang mengalami peningkatan prevalensi KEP Nyata yaitu propinsi Sumatera Utara, DKI Jakarta, Jawa Timur, Bali, Timor-Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Maluku dan Irian Jaya. Sementara itu propinsi dengan prevalensi KEP Nyata tertinggi untuk tahun 1995 berada di propinsi Timor-Timur (21,4%) dan yang terendah berada di propinsi Bengkulu (0,7%).
Untuk prevalensi KEP Total dari hasil PSG tahun 1994 dan tahun 1995 terlihat ada 12 propinsi yang mengalami peningkatan prevalensi yaitu DI. Aceh, Sumatera Utara, Lampung, DKI Jakarta, Jawa Timur, Bali, Timor Timur, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Maluku dan Irian Jaya. Sementara itu propinsi dengan prevalensi KEP tertinggi untuk tahun 1995 berada di propinsi Timor-Timur (56,7%) dan yang terendah berada di propinsi Bengkulu (8,5%).
Tujuan utama program penanggulangan KVA adalah untuk menurunkan prevalensi Xerophthalmia sampai 0,1% pada akhir Pelita VI. Untuk mencapai tujuan tersebut telah dilakukan upaya-upaya yang terus menerus baik di tingkat Pusat maupun tingkat daerah. Dari hasil Survey Nasional tahun 1992, prevalensi xerophthalmia yang dinyatakan sebagai prevalensi X1B di Indonesia adalah sebesar 0,33%, keadaan ini mengungkapkan telah terjadi penurunan prevalensi sebesar 73% jika dibandingkan dengan tahun 1978 sebesar 1,3%. Dengan keberhasilan ini maka masalah Xerophtalmia (KVA klinis) secara nasional bukan lagi merupakan masalah kesehatan masyarakat jika mengacu kepada kriteria WHO (X1B = 0,5%)
Sementara itu bila dilihat berdasarkan prevalensi tingkat propinsi, hasil Survei Nasional vitamin A tahun 1992 juga memperlihatkan penurunan prevalensi hampir di seluruh propinsi yang disurvei dan hanya 3 propinsi yang prevalensinya diatas kriteria WHO. Propinsi tersebut adalah Sulawesi Selatan (2,9%), Sulawesi Tenggara (0,6%) dan Maluku (1%).
Sedangkan prevalensi X2/X3 pada tahun 1978 sebesar 0,112% berhasil ditanggulangi sehingga kasus tersebut tidak diketemukan lagi pada tahun 1992. Batas prevalensi yang dianggap sebagai masalah masyarakat oleh WHO adalah 0,01% untuk X2/X3 dan 0,5% untuk X1B.
Tujuan utama program penanggulangan GAKY adalah untuk menurunkan angka gondok total (Total Goitre Rate/TGR) dan angka gondok nyata (Visible Goitre Rate/VGR) serta mencegah munculnya kasus kretin pada bayi baru lahir di daerah endemik sedang dan berat. Untuk mencapai tujuan tersebut berbagai upaya penanggulangan telah dilaksanakan dengan upaya jangka pendek dan jangka panjang. Upaya jangka pendek berupa program distribusi kapsul yodium bagi masyarakat di daerah endemik sedang dan berat. Sedangkan upaya jangka panjang berupa yodisasi garam untuk seluruh masyarakat (Garam beryodium untuk semua).
Meskipun secara nasional terjadi penurunan prevalensi GAKY, akan tetapi pada 10 propinsi yaitu: DI Aceh, Sumatera Utara, Jambi, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tengah dan Maluku malah terjadi peningkatan TGR. Sedangkan peningkatan VGR terdapat di 11 propinsi yaitu: DI Aceh, Riau, Jambi, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Tenggara, Maluku dan Timor Timur. Sementara itu juga terlihat ada 7 propinsi yang prevalensi TGR dan VGR meningkat selama periode waktu tersebut yaitu: DI Aceh, Jambi, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Tengah dan Maluku.
Anemia gizi masih merupakan masalah kesehatan di Indonesia. Hasil SKRT 1986, 1992 dan 1995 berdasarkan pengukuran Hb pada wanita hamil dan balita menunjukkan bahwa masalah anemia gizi pada wanita hamil di Indonesia telah mengalami penurunan, meskipun keadaannya masih tetap tinggi yaitu dari 73,7% pada tahun 1986 menjadi 63,5% pada tahun 1992 dan 51,3% pada tahun 1995.
Sebelum pelita IV diperkirakan prevalensi anemia gizi pada anak balita sebesar 40% dan pada ibu hamil 70% sehingga dapat dikatakan upaya penanggulangan anemia gizi yang telah dilakukan belum menunjukkan dampak yang nyata. Dari SKRT 1992 terdapat 12 propinsi yang prevalensi anemia gizi besi pada ibu hamil berada dibawah rata-rata nasional dan 12 propinsi tersebut hanya ada 4 propinsi yang prevalensinya dibawah 50%, yaitu Bengkulu (46,8%), Timor Timur (48%), Sulawesi Utara (48,7%) dan Sulawesi Tengah (45,5%). Sedangkan propinsi yang diatas rata-rata nasional ada 15 propinsi dan yang tertinggi dijumpai di propinsi Sumatera Utara (77,9%). Sementara itu untuk anemia gizi besi pada anak balita, terdapat 12 propinsi yang prevalensinya berada dibawah angka rata-rata nasional dan 11 propinsi diantaranya dengan prevalensi kurang dari 50%, yaitu DI. Aceh (29,7%), Jambi (43,8%), DKI Jakarta (25%), Jawa Timur (49,1%), Timor Timur (40,7%), Kalimantan Barat (27%), Kalimantan Tengah (42,9%), Kalimantan Selatan (42,9%), Sulawesi Utara (24,2%), Sulawesi Tengah (45,2%), Sulawesi Selatan (35,6%) dan Timor Timur (40,7%). Sedangkan propinsi dengan prevalensi di atas rata-rata nasional ada 14 propinsi, dengan prevalensi teringgi berada di propinsi Sumatera Utara (79%).
Upaya Gizi
Upaya penanggulangan masalah Kurang Vitamin A tahun 1996/1997 masih bertumpu pada pemberian kapsul Vitamin A dosis tinggi pada anak balita dan ibu nifas, KIE serta monitoring melalui pencatatan dan pelaporan yang dilaksanakan di 27 propinsi.Kegiatan distribusi kapsul vitamin A diintegrasikan kedalam kegiatan UPGK dan KIA melalui posyandu dan puskesmas.
Untuk meningkatkan efektivitas pelaksanaan penanggulangan KVA, sejak tahun 1992 telah dilakukan kegiatan SOMAVITA (Sosial Marketing Vitamin A) berupa kampanye peningkatan cakupan penggunaan kapsul Vitamin A maupun peningkatan konsumsi makanan kaya akan Vitamin A atau sumber vitamin A alami ("Suvital"), dan pada tahun 1993/1994 dilakukan kegiatan perintisan fortifikasi Vitamin A pada makanan.
Distribusi kapsul Vitamin A pada tahun 1996 yang dilakukan di 27 propinsi telah mencakup 71,38% (Februari 1996) dan 77,69% (Agustus 1996) dari jumlah balita yang ada.
Upaya penanggulangan anemia gizi tahun 1996/1997 diprioritaskan kepada kelompok rawan yaitu ibu hamil, balita, anak usia sekolah, dan wanita usia subur termasuk remaja putri dan pekerja wanita. Selama ini upaya penanggulangan anemia gizi difokuskan kepada sasaran ibu hamil dengan suplementasi tablet besi folat (200 mg FeSO4 dan 0,25 mg asam folat). Setiap hari 1 tablet selama minimal 90 hari berturut-turut. Berdasarkan laporan tahun 1995 dan 1996 angka cakupan Fe1 dan Fe3 sudah di atas 60%.
Untuk meningkatkan cakupan distribusi tablet besi dilakukan juga kegiatan ‘social marketing’ dan pengembangan sistim informasi yang memungkinkan diperolehnya data peningkatan cakupan tablet Fe1 dan Fe3 serta kepatuhan untuk memakan tablet Fe oleh ibu hamil.
Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY) diketahui mempunyai kaitan erat dengan gangguan perkembangan fisik, mental dan kecerdasan. Kegiatan penanggulangan GAKY yang dilaksanakan oleh pemerintah hingga dewasa ini meliputi: penanggulangan dalam jangka panjang berupa penggunaan garam konsumsi beryodium bagi masyarakat. Dalam hal ini pelaksanaan yodisasi garam sudah diatur di dalam SKB 3 Menteri (Kesehatan, Perindustrian & Perdagangan, Dalam Negeri). Dengan telah dikeluarkan Keppres no.69/1994 diharapkan tahun 1996 semua garam konsumsi yang beredar sudah dalam bentuk garam beryodium yang memenuhi persyaratan.
Upaya penanggulangan yang merupakan program jangka pendek dilakukan dengan cara pemberian larutan minyak beryodium kepada penduduk yang tinggal di daerah endemik sedang dan berat. Sejak tahun 1992/1993 pemberian larutan minyak beryodium melalui suntikan diganti dengan pemberian kapsul minyak beryodium. Tujuannya adalah agar lebih praktis pemberiannya baik dari segi keamanan pemberian maupun transportasinya.
Hasil cakupan distribusi kapsul minyak beryodium tahun 1994/1995 pada 13 propinsi telah mencapai 100% atau lebih yaitu di propinsi DI. Aceh, Sumut, Sumbar, Jambi, Sumsel, Lampung, Bali, NTB, Kalbar, Kalteng, Kalsel, Sultra dan Timtim. Di samping itu pada propinsi NTT dan Maluku belum diketahui hasil cakupan distribusinya. Bila dillihat target dan cakupan pada tahun 1993/94 dibandingkan dengan tahun 1994/95 maka baik target maupun cakupannya terjadi peningkatan.