Masalah Halal: Kaitan Antara Syar’i, Teknologi dan Sertifikasi
 
Dr. Ir. H. Anton Apriyantono
Staf Pengajar Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi
Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor
 
Pendahuluan

Menyimak polemik mengenai masalah label halal dan sertifikasinya baru-baru ini telah mendorong penulis untuk menyumbangkan pemikiran dalam masalah ini. Hal ini didorong oleh latar belakang penulis sebagai orang yang sehari-hari berkecimpung di bidang teknologi pangan dengan segala permasalahannya dan juga pengalaman penulis sebagai auditor LP-POM MUI Pusat. Walaupun demikian, perlu ditegaskan bahwa tulisan ini semata-mata hanya pandangan penulis yang tidak mewakili lembaga apa pun yang menaungi penulis.

Ketika teknologi pangan belum berkembang seperti saat ini, dimana tidak ada atau tidak banyak makanan dan minuman olahan yang beredar, masalah halal dan haramnya makanan dan minuman relatif tidak serumit sekarang (bagaimana rumitnya permasalahan halal ditinjau dari segi teknologi pangan akan dikemukakan pada seri kedua tulisan ini), walaupun dari segi syar’i permasalahan selalu ada, terutama karena adanya perbedaan pendapat di antara para ulama. Meskipun demikian, perbedaan pendapat tersebut relatif tidak banyak dan relatif lebih mudah dipecahkan. Lain halnya pada keadaan sekarang, dimana teknologi telah berkembang sedemikian rupa sehingga hal-hal yang dulunya tidak ada menjadi ada dengan bantuan teknologi. Sebagai contoh, dahulu orang membuat roti cukup dengan menggunakan bahan dasar terigu, ragi dan air. Akan tetapi, sekarang tidak cukup hanya dengan bahan utama itu saja, tetapi perlu ada tambahan bahan lainnya yang disebut dengan bahan tambahan makanan seperti shortening (mentega putih), perisa atau flavor (bahan untuk menimbulkan aroma dan rasa tertentu), dan anticacking agent. Di antara bahan-bahan tambahan tersebut banyak yang bagi orang awam tidak mengetahui asal usulnya, akan tetapi bagi ahlinya telah diketahui bahwa di antara bahan tambahan makanan tersebut (ambil contoh shortening) ada yang mengandung lemak babi atau bahan yang dapat berasal dari lemak babi yang diperoleh melalui reaksi kimia dengan menggunakan bahan awal salah satu komponen yang berasal dari lemak babi. Sehingga, diperlukan usaha yang sangat keras untuk mengetahui mana yang halal (tidak mengandung unsur babi) dan mana yang tidak halal. Itu baru satu contoh permasalahan saja, bisa dibayangkan apabila masalah asal bahan dikaitkan dengan bahan-bahan dari hewan lainnya (sapi, kambing, kerbau, ayam) yang tidak disembelih dengan persyaratan syariat Islam, tentu akan lebih rumit lagi. Juga jika dikaitkan dengan cara penyembelihannya, akan menambah pula kerumitan permasalahan.

Datangnya era globalisasi tidak dapat dihindari lagi. Hal ini akan membawa konsekuensi banyak makanan dan minuman impor baik yang jelas keharamannya atau yang tidak jelas keharamannya beredar di tengah-tengah kita. Ditambah lagi, banyak sekali bahan utama dan bahan tambahan makanan yang harus diimpor untuk memproduksi bahan pangan olahan di dalam negeri, dimana telah digambarkan di atas bahwa tidak mudah mengenali asal bahan tersebut, dengan kata lain tidak mudah menentukan kehalalan bahan tersebut. Dengan demikian, apabila tidak ada jaminan kehalalan suatu bahan atau produk pangan, maka akan sulit sekali bagi awam untuk memilih mana makanan dan minuman yang halal dan mana yang haram. Untuk itulah diperlukan adanya peraturan dan pengaturan yang jelas, yang menjamin kehalalan suatu bahan atau produk pangan. Di samping itu, umat Islam perlu dibekali dengan pengetahuan yang cukup tentang masalah ini, bahkan para ulama harus bekerjasama dengan para ilmuwan dalam menentukan kehalalan suatu bahan atau produk pangan mengingat permasalahan ini memerlukan pengetahuan yang mendalam mengenai asal usul bahan itu sendiri di samping pengetahuan hukum Fiqih.

Dalam kaitan dengan yang digambarkan di atas, penulis berusaha mencoba membahas permasalahan halal baik dari segi syar’i, teknologi maupun sertifikasi karena ketiganya sangat berkaitan erat, dimana ketiganya tidak dapat berdiri sendiri. Pembahasan ini dimaksudkan untuk memberi gambaran yang lebih jelas kepada awam, tidak tertutup kemungkinan untuk pula meluruskan beberapa pandangan yang penulis anggap keliru yang dapat menyesatkan, bahkan dapat menyebabkan diambilnya suatu keputusan yang sangat merugikan semua pihak.
 

1. Tinjauan Syar’i
 

"Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezkikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepadanya "( QS. Al-Maaidah: 88).

Ayat tersebut di atas jelas-jelas telah menyuruh kita hanya memakan makanan yang halal dan baik saja, dua kesatuan yang tidak bisa dipisahkan, yang dapat diartikan halal dari segi syariah dan baik dari segi kesehatan, gizi, estetika dan lainnya.

Sesuai dengan kaidah ushul fiqih, segala sesuatu yang Allah tidak melarangnya berarti halal. Dengan demikian semua makanan dan minuman di luar yang diharamkan adalah halal. Oleh karena itu, sebenarnya sangatlah sedikit makanan dan minuman yang diharamkan tersebut. Walaupun demikian, pada zaman dimana teknologi telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari manusia, maka permasalahan makanan dan minuman halal menjadi relatif kompleks, seperti akan diuraikan dalam seri kedua tulisan ini. Pada seri pertama tulisan ini akan dibahas mengenai makanan (dan minuman) yang halal dan haram berdasarkan tinjauan syar’i (menurut Al-Quran dan Sunnah). Perlu diingatkan bahwa apa yang dibahas ini hanyalah yang pokok-pokok saja mengingat keterbatasan ruang pembahasan dan pengetahuan penulis. Walaupun demikian, penulis mengharapkan tulisan pertama ini sebagai pengantar untuk memahami permasalahan yang akan dikemukakan pada tulisan seri kedua, karena tanpa dasar hukum syar’i yang tepat maka pembahasan mengenai makanan dan minuman halal dari segi teknologi menjadi salah arah.

 
A. Makanan yang Diharamkan
 
"Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut nama selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS. Al-Baqarah:173).

Dari ayat di atas jelaslah bahwa makanan yang diharamkan pada pokoknya ada empat:

Di samping keempat kelompok makanan yang diharamkan tersebut, terdapat pula kelompok makanan yang diharamkan karena sifatnya yang buruk seperti dijelaskan dalam Al Qur'an Surat Al-A`raaf:157 .....dan menghalalkan bagi mereka segala hal yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala hal yang buruk...... Apa-apa saja yang buruk tersebut agaknya dicontohkan oleh Rasulullah dalam beberapa Hadits, di antaranya Hadits Ibnu Abbas yang dirawikan oleh Imam Ahmad dan Muslim dan Ash Habussunan: Telah melarang Rasulullah saw memakan tiap-tiap binatang buas yang bersaing (bertaring, penulis), dan tiap-tiap yang mempunyai kuku pencengkraman dari burung. Sebuah Hadits lagi sebagai contoh, dari Abu Tsa`labah: Tiap-tiap yang bersaing dari binatang buas, maka memakannya adalah haram (perawi Hadits sama dengan Hadits sebelumnya).

Ada pula Imam yang tidak mengkategorikan makanan-makanan haram yang dijelaskan dalam Hadits sebagai makanan haram, tetapi hanya makruh saja. Pendapat ini dipegang oleh mazhab Maliki. Akan tetapi, dengan menggunakan common sense saja agaknya sudah dapat dirasakan penolakan untuk memakan binatang-binatang seperti binatang buas: singa, anjing, ular, burung elang, dsb. Oleh karena itu, barangkali pendapat Mazhab Syafi`i lah yang lebih kuat yang mengharamkan makanan yang telah disebutkan di atas.

Ada pula pendapat yang mengatakan hewan yang hidup di dua air haram, yang menurut mereka didasarkan pada Hadits. Sayangnya, sampai saat ini penulis hanya dapat menemukan pernyataan keharaman makanan tersebut di buku-buku fiqih tanpa dapat berhasil menemukan sumber Haditsnya yang jelas selain dari satu Hadits yang terdapat dalam kitab Bulughul Maram: Dari `Abdurrahman bin `Utsman Al-Qurasyis-yi bahwasanya seorang tabib bertanya kepada Rasulullah saw tentang kodok yang ia campurkan di dalam satu obat, maka Rasulullah larang membunuhnya (Diriwayatkan oleh Ahmad dan disahkan oleh Hakim dan diriwayatkan juga oleh Abu Dawud dan Nasa`i). Dari Hadits tersebut, dapat diinterpretasikan bahwa larangan membunuh kodok sama dengan larangan memakannya. Akan tetapi larangan terhadap binatang lainnya yang hidup di dua air seperti kodok tentulah tidak secara tegas dinyatakan dalam Hadits tersebut, mungkin itu hanya hasil qias saja. Dengan demikian, kebenaran pendapat tersebut sangat bergantung pada kebenaran sumber hukumnya. Jika Hadits yang menyatakan hal tersebut memang ada, jelas maksudnya dan sahih, maka kita hanya dapat mengatakan sami`na wa atho`na (kami dengar dan kami taati).

 
B. Minuman yang Diharamkan

Dari semua minuman yang tersedia, hanya satu kelompok saja yang diharamkan yaitu khamar. Yang dimaksud dengan khamar yaitu minuman yang memabukkan sesuai dengan penjelasan Rasulullah saw. berdasarkan Hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Daud dari Abdullah bin Umar: Setiap yang memabukkan adalah khamar (termasuk khamar) dan setiap khamar adalah diharamkan. Dari penjelasan Rasulullah tsb jelas bahwa batasan khamar didasarkan atas sifatnya, bukan jenis bahannya, bahannya sendiri dapat apa saja. Dalam hal ini ada perbedaan pendapat mengenai bahan yang diharamkan, ada yang mengharamkan khamar yang berasal dari anggur saja. Akan tetapi penulis menyetujui pendapat yang mengharamkan semua bahan yang bersifat memabukkan, tidak perlu dilihat lagi asal dan jenis bahannya, hal ini didasarkan atas kajian Hadits-Hadits yang berkenaan dengan itu, juga pendapat para ulama terdahulu. Mengenai sifat memabukkan sendiri dijelaskan lebih rinci lagi oleh Umar bin Khattab seperti diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim sebagai berikut: Kemudian daripada itu, wahai manusia! sesungguhnya telah diturunkan hukum yang mengharamkan khamar. Ia terbuat dari salah satu lima unsur: anggur, korma, madu, jagung dan gandum. Khamar itu adalah sesuatu yang mengacaukan akal. Jadi sifat mengacaukan akal itulah yang dijadikan patokan. Sifat mengacaukan akal itu di antaranya dicontohkan dalam Al-Quran yaitu membuat orang menjadi tidak mengerti lagi apa yang diucapkan seperti dapat dilihat pada Surat An-Nisa: 43: Hai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu shalat sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan. Dengan demikian berdasarkan ilmu pengetahuan dapat diartikan sifat memabukkan tersebut yaitu suatu sifat dari suatu bahan yang menyerang syaraf yang mengakibatkan ingatan kita terganggu.

Keharaman khamar ditegaskan dalam Al-Quran Surat Al-Maaidah ayat 90-91: Hai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya meminum khamar, berjudi, berkorban untuk berhala dan mengundi nasib dengan anak panah adalah perbuatan-perbuatan keji yang termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menumbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran meminum khamar dan berjudi itu dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang. Maka berhentilah kamu mengerjakan perbuatan itu.

Dengan berpegang pada definisi yang sangat jelas tersebut di atas maka kelompok minuman yang disebut dengan minuman keras atau minuman beralkohol (alcoholic beverages) adalah tergolong khamar. Sayangnya, banyak orang mengasosiasikan minuman keras ini dengan alkohol saja sehingga yang diharamkan berkembang menjadi alkohol (etanol), padahal tidak ada yang sanggup meminum etanol dalam bentuk murni karena akan menyebabkan kematian. Etanol memang merupakan komponen kimia yang terbesar (setelah air) yang terdapat pada minuman keras, akan tetapi etanol bukan satu-satunya senyawa kimia yang dapat menyebabkan mabuk, banyak senyawa-senyawa lain yang terdapat pada minuman keras juga bersifat memabukkan jika diminum pada konsentrasi cukup tinggi. Secara umum, golongan alkohol bersifat narkosis (memabukkan), demikian juga komponen-komponen lain yang terdapat pada minuman keras seperti aseton, beberapa ester dll. Secara umum, senyawa-senyawa organik mikromolekul dalam bentuk murninya kebanyakan adalah racun. Oleh karena itu, kita tidak dapat menentukan keharaman minuman hanya dari alkoholnya saja, akan tetapi harus dilihat secara keseluruhan, yaitu apabila keseluruhannya bersifat memabukkan maka termasuk ke dalam kelompok khamar. Apabila sudah termasuk ke dalam kelompok khamar maka sedikit atau banyaknya tetap haram, tidak perlu lagi dilihat berapa kadar alkoholnya.

Apabila yang diharamkan adalah etanolnya, maka dampaknya akan sangat luas sekali karena banyak sekali makanan dan minuman yang mengandung alkohol, baik terdapat secara alami (sudah terdapat sejak bahan pangan tersebut baru dipanen dari pohon) seperti pada buah-buahan, atau terbentuk selama pengolahan seperti kecap. Akan tetapi kita mengetahui bahwa buah-buahan segar dan kecap tidak meyebabkan mabuk. Di samping itu, apabila alkohol diharamkan maka ketentuan ini akan bertentangan dengan penjelasan yang diberikan oleh Rasulullah saw. tentang jus buah-buahan dan pemeramannya seperti tercantum dalam Hadits-Hadits berikut:

Pemeraman juice pada suhu ruang dan udara terbuka sampai dua hari jelas secara ilmiah dapat dibuktikan akan mengakibatkan pembentukan etanol, tetapi memang belum sampai pada kadar yang memabukkan, hal ini juga dapat terlihat pada pembuatan tape. Sebelum diperam pun juice sudah mengandung alkohol, juice jeruk segar misalnya dapat mengandung alkohol sebanyak 0.15%. Dari pembahasan tersebut di atas jelaslah bahwa pendapat yang mengatakan diharamkannya alkohol lemah, bahkan bertentangan dengan Hadits Rasulullah saw. Apabila alkohol diharamkan, maka seharusnya alkohol tidak boleh digunakan untuk sterilisasi alat-alat kedokteran, campuran obat, pelarut (pewarna, flavor, parfum, obat, dll), bahkan etanol harus enyah dari laboratorium-laboratorium. Jelas hal ini akan sangat menyulitkan. Di samping itu ingatlah firman Allah dalam Surat Al-Maidah ayat 87: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang Allah telah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.

Ada pula yang berpendapat bahwa etanol itu haram, akan tetapi etanol dapat digunakan dalam pengolahan pangan asalkan pada produk akhir tidak terdeteksi lagi adanya etanol. Pendapat ini lemah karena dua hal; pertama, berdasarkan hukum fiqih, apabila suatu makanan atau minuman tercampur dengan bahan yang haram maka menjadi haramlah ia (Ada pula yang berpendapat bahwa hal ini dibolehkan sepanjang tidak merubah sifat-sifat makanan atau minuman tersebut. Pendapat ini hasil qias terhadap kesucian air yang tercampuri bahan yang najis, sepanjang tidak merubah sifat-sifat air maka masih tetap suci. Penulis tidak sependapat dengan pandangan ini karena masalah kehalalan makanan dan minuman tidak bisa disamakan dengan masalah kesucian air, keduanya merupakan dua hal yang berbeda). Kedua, secara saintifik (ilmu pengetahuan) tidak mungkin dapat menghilangkan suatu bahan sampai 100 persen apabila bahan tersebut tercampur ke dalam bahan lain, dengan kata lain apabila etanol terdapat pada bahan awalnya, maka setelah pengolahan juga masih akan terdapat pada produk akhir, walaupun dengan kadar yang bervariasi tergantung pada jumlah awal etanol dan kondisi pengolahan yang dilakukan. Hal ini dapat dibuktikan di laboratorium.

Batasan khamar ini nampaknya tidak terbatas pada minuman saja mengingat ada Hadits yang mengatakan setiap yang memabukkan adalah khamar dan setiap khamar adalah haram (Hadits Muslim); Semua yang mengacaukan akal dan semua yang memabukkan adalah haram (Hadits Abu Daud). Dengan demikian segala hal yang mengacaukan akal dan memabukkan seperti narkotika dan ecstasy adalah haram.

Wallahualam bissawab.

 

2. Tinjauan Teknologi
 
Dari uraian yang dijelaskan pada bagian satu, keharaman suatu bahan pangan dapat disebabkan oleh karena bahan asalnya (babi dan turunannya, binatang buas, bangkai), sifatnya (memabukkan), dan cara penyembelihan hewan halal (tidak mengikuti syariat Islam). Dari segi teknologi, titik kritis yang harus diperhatikan dalam kaitannya dengan makanan dan minuman halal ialah jenis dan asal bahan serta cara penyembelihan.

Perkembangan teknologi pangan pada saat ini telah sampai pada kondisi dimana begitu banyak bahan baku dan bahan tambahan yang digunakan untuk memproduksi suatu makanan olahan. Sebagai contoh, puluhan jenis ingredien yang diperlukan untuk membuat mie instan, dari mulai terigu, minyak goreng, rempah-rempah, perisa (flavourings), garam, ekstrak khamir (yeast extract), dll. Jika kita selidiki lebih lanjut lagi, salah satu ingredien yaitu perisa (kebanyakan sintetik) ternyata mengandung juga puluhan bahan penyusun, baik itu dalam bentuk bahan kimia murni atau hasil suatu reaksi. Oleh karena itu, untuk meneliti kehalalan mie instan saja bukanlah hal mudah karena harus memeriksa berbagai sumber bahan, di samping produsen mie yang bersangkutan. Seringkali diperlukan waktu dan tahap ang cukup panjang untuk dapat mengetahui asal suatu bahan. Sebagai contoh, untuk memeriksa perisa ayam (bahan yang digunakan untuk menimbulkan rasa ayam) maka harus memeriksa industri flavor (flavour house) yang memproduksinya. Dari sekian banyak yang digunakan untuk menyusun perisa ayam, salah satunya yaitu lemak ayam, untuk itu perlu memeriksa pula produsen lemak ayam yang bersangkutan. Dengan demikian, dapat dibayangkan bahwa pekerjaan seorang auditor makanan dan minuman halal bukanlah pekerjaan mudah karena di samping memerlukan ketelitian yang tinggi juga memerlukan pengetahuan yang mendalam tentang masalah yang dihadapi, dari mulai pengetahuan bahannya, cara memproduksinya sampai berbagai kemungkinan asal bahan dan cara-cara sintesisnya atau formulasinya. Pada tulisan ini penulis akan memberikan gambaran bagaimana mengenali bahan-bahan yang diharamkan dalam kaitannya dengan penggunaannya dalam teknologi pangan di samping akan menyinggung pula masalah penyembelihan. Sebagian bahan tulisan ini (khususnya produk hewani) penulis peroleh dari kolega penulis yaitu Dr. Ir. Joko Hermanianto, seorang ahli teknologi daging dari Institut Pertanian Bogor.

Pada dasarnya ada tiga jenis kategori bahan makanan dan minuman yang diharamkan yaitu: 1) minuman yang memabukkan; 2) produk hewani (bagian yang dapat dimakan dari babi, bagian yang dapat dimakan dari hewan yang tidak disembelih menurut syariat Islam, darah, bangkai dan turunan dari bahan-bahan yang berasal dari produk hewani yang telah disebutkan, sebagai contoh asam stearat yang berasal dari lemak babi); 3) bahan tambahan makanan yang mengandung unsur-unsur bahan yang termasuk kedalam kategori 1) dan 2).

 
1) Minuman yang memabukkan

Banyak sekali jenis-jenis minuman yang memabukkan ini. Minuman jenis ini sering disebut juga dengan istilah minuman keras dan dalam bahasa Inggris dikenal sebagai alcoholic beverages. Secara garis besar minuman yang memabukkan dikelompokkan menjadi wine, bir, dan spirit yang terdiri dari liquor dan liqueurs (cordials).

Ada berbagai jenis jenis bir yang beredar di pasaran dengan kadar alkohol bervariasi dan dapat mencapai 5.5%, bahkan pada strong beer dapat mencapai 8%. Ada juga salah satu jenis bir yang disebut lager yaitu bir yang disimpan sekitar 6 bulan sebelum dipasarkan. Yang juga penting diketahui ialah ada produk minuman yang dibuat dari campuran bir (dapat pula bahan dasar bir), perisa (flavourings), air dan bahan lainnya yang ditambah lagi dengan gas karbon dioksida, yang di pasarn dikenal sebagai minuman shandy. Minuman jenis ini sangat mengecoh konsumen yang tidak tahu asal usulnya karena kalau dilihat sifatnya memang tidak memabukkan karena kadar alkoholnya hanya 1%. Akan tetapi, mengingat minuman tersebut mengandung unsur bir yang diharamkan maka seharusnya minuman jenis shandy ini juga haram (Tidak tertutup kemungkinan ada yang menghalalkan minuman ini dengan dasar sifatnya yang tidak memabukkan, akan tetapi menurut penulis asal bahan harus dipertimbangkan, sehingga suatu bahan jika mengandung bahan yang haram maka haramlah ia. Di samping itu, diperlukan pula usaha untuk tidak membuka peluang diproduksi dan beredarnya minuman haram).

Yang membingungkan bagi awam adalah minuman yang namanya rootbeer. Setelah kami cek dari keterangan komposisinya ternyata minuman ini dibuat dari perisa (flavourings, dikenal juga dengan essens), air dan gas karbon dioksida. Dilihat dari komposisinya maka rootbeer tidak dapat dikategorikan haram, akan tetapi mengingat sebagian namanya memakai nama minuman yang diharamkan, maka jenis minuman ini seharusnya dihindari karena dengan namanya tersebut dapat mengakibatkan kita menjadi dekat dengan barang-barang yang haram, atau dapat pula karena suatu saat akan tidak jelas lagi mana yang halal dan mana yang haram. Sebagai contoh, rum adalah salah satu jenis minuman keras yang sangat memabukkan. Akan tetapi, sekarang beredar rum sintetik yang tidak dibuat dengan cara fermentasi seperti rum aslinya, akan tetapi merupakan campuran bahan-bahan kimia sintetik. Ibu-ibu rumah tangga sering menggunakan rum ini untuk membuat kue sus. Orang awam jelas tidak dapat membedakan dengan mudah mana rum yang asli dan mana yang sintetik. Oleh karena itu, semua bahan yang mempunyai nama sama dengan bahan yang diharamkan sebaiknya dihindari.

Perlu pula diketahui bahwa sekarang ini beredar yang disebut dengan alcohol-free beer, yang sebenarnya tidak benar-benar bebas alkohol, bahkan kadar alkoholnya dapat mencapai 1%. Bir jenis ini dapat dibuat dengan 2 cara yaitu cara pertama dengan mendistilasi bir sehingga kadar alkoholnya jauh menurun, sedangkan cara kedua yaitu membuat bir dari campuran perisa (flavor) bir dan bahan-bahan lainnya. Bir yang dibuat dengan cara pertama jelas haram karena berasal dari bir, sedangkan bir yang dibuat dengan cara kedua juga sebaiknya dihindari bahkan diharamkan karena jika tidak dan kita mengkonsumsinya, maka dikhawatirkan nantinya kita akan cenderung untuk mencintai barang-barang yang diharamkan.

Secara umum ada dua jenis wine yaitu white wine (anggur putih) dan red wine (anggur merah). Secara lebih spesifik wine ini sangat banyak sekali ragamnya, sering dikenal dengan nama daerah asal atau varitas anggur yang digunakan sebagai bahan dasarnya. Berdasarkan fungsinya wine dapat dibedakan menjadi dessert wines (Malaga, Portwine, Samos, Marsala, dll), wine-like beverages (minuman seperti wine) seperti berbagai jenis cider, sake, dll, dan jenis berikutnya yaitu malt wine. Kadar alkohol wine berkisar antara 5.5 - 16.6%. Jenis wine lainnya ialah apa yang disebut dengan wine-containing beverages (minuman yang mengandung wine) yang dibuat dengan bahan dasar wine dengan bahan tambahan lainnya seperti rempah-rempah, contoh wine jenis ini yaitu vermouth. Yang patut diwaspadai ialah apa yang disebut dengan punches, minuman ini dibuat dari campuran wine, air soda dan buah-buahan. Yang juga harus diwaspadai yaitu bahwa wine sering digunakan sebagai salah satu bahan tambahan suatu masakan (terutama masakan Barat, khususnya masakan Perancis), bahkan arak pun kadang digunakan pada pembuatan kambing guling. Jelas hal ini akan mengakibatkan haramnya masakan yang dibuat dengan menambahkan wine atau arak tersebut.

Spirit adalah minuman beralkohol yang dibuat dengan cara distilasi hasil fermentasi karbohidrat sehingga kadar alkoholnya menjadi tinggi. Seperti telah dijelaskan di atas minuman ini terbagi menjadi dua kelompok yaitu liquor (kadar alkohol minimum 38%) dan liqueurs (cordial) dengan kadar alkohol 20 - 35%. Yang termasuk ke dalam liquor yaitu wine brandy, fruit brandy, rum, arak, gin, whiskey, whisky dan vodka. Ada berbagai macam jenis liqueurs yang intinya campuran hasil distilasi seperti liqour dengan buah-buahan, rempah-rempah, ekstrak atau essens. Perlu diperhatikan pada waktu membeli coklat impor karena cukup banyak pula yang mengandung bahan-bahan seperti rum, brandy atau wine (sherry wine), yang mengandung sherry wine ini biasanya coklatnya mengandung buah sherry tetapi di dalam buah sherry tersebut terkandung sherry wine.

Ada jenis minuman yang seharusnya juga haram karena sifatnya yang memabukkan walaupun minuman jenis ini sering dikategorikan sebagai obat, tetapi karena sifatnya yang memabukkan maka minuman jenis ini termasuk khamar. Yang termasuk ke dalam minuman jenis ini yaitu anggur obat, beras kencur, anggur kolesom, dll. Kadar alkohol minuman jenis ini dapat mencapai 15%, sehingga tidak dapat diragukan lagi sifat memabukkannya.
 

2) Produk Hewani

Seperti pernah dijelaskan sebelumnya, keharaman produk hewani dapat disebabkan oleh jenis hewannya (babi, binatang buas), asal produk (bangkai), cara penyembelihan (tidak disembelih menurut syariat Islam), darah dan produk olahan serta produk samping atau produk turunan dari keempat kelompok tersebut. Dalam kesempatan ini penulis akan mencoba untuk membahas bagaimana kemungkinan bahan-bahan yang diharamkan tersebut ditemui sebagai atau berada dalam bahan pangan hewani segar dan olahan yang mungkin kita temui dalam kehidupan sehari-hari.

2.1) Bahan Pangan Hewani Segar

Berdasarkan keharamannya ada tiga kelompok bahan pangan hewani segar yang haram yaitu bagian yang dapat dimakan (khususnya daging dan lemak) dari babi, bangkai, dan hewan yang tidak disembelih menurut syariat Islam (catatan: ikan, telur dan susu adalah bahan pangan hewani yang tidak termasuk kedalam bahan pangan haram). Ketiga kelompok ini, khususnya bangkai dan hewan yang tidak disembelih menurut syariat Islam apabila terdapat di pasaran akan sulit sekali bagi awam mengenalinya, apalagi jika bercampur dengan daging yang halal. Terlebih lagi apabila hewan yang disembelih secara tradisional, tetapi tidak memenuhi kaidah syariat Islam seperti tidak dibacakan basmallah, maka bisa dikatakan tidak mungkin dapat membedakannya dengan daging yang halal. Oleh karena itu, perlu pengaturan dan pengawasan yang seksama terhadap daging-daging dan lemak yang beredar di pasaran seperti nanti akan diuraikan pada tulisan seri ketiga (mengenai sertifikasi). Walaupun demikian, masih ada kemungkinan untuk mengenali beberapa daging hewan yang diharamkan walaupun sifatnya tidak dapat memastikan.

Ada dua istilah yang sering digunakan untuk menunjukkan bahwa bahan tersebut adalah daging babi yaitu ham dan bacon. Ham yaitu daging babi bagian belakang, sedangkan bacon adalah iga babi asap. Secara umum daging babi memiliki lapisan lemak yang tebal dengan serat yang cukup halus. Akan tetapi, tidak mudah membedakan antara daging babi dengan daging sapi muda, keduanya sangat mirip, apalagi jika keduanya bercampur.

Di negara Barat dikenal juga apa yang disebut dengan ham sapi, ini berarti bagian paha belakang daging sapi, juga ada beef bacon (iga asap daging sapi). Istilah ini kemudian ada juga yang menirunya di Indonesia, padahal seperti telah dibahas sebelumnya, masalah nama ini sangat penting karena kalau kita biarkan nama-nama barang yang haram bercampur dengan nama-nama barang yang halal, dikhawatirkan akan menjadi rancu dan tidak jelas lagi mana yang halal dan mana yang haram, di samping itu jika kita memperkenalkan nama barang haram pada barang yang halal, maka hal ini dapat mendekatkan kita kepada mencintai barang yang haram tersebut. Oleh karena itu penggunaan istilah-istilah ham dan bacon untuk daging yang halal seharusnya tidak diperkenankan.

Lemak babi dikenal dengan istilah lard, sedangkan lemak sapi atau kambing disebut dengan tallow. Akan tetapi, di perdagangan seringkali tallow berarti lemak hewani (termasuk lemak babi). Bentuk fisik lard dan tallow yaitu padat. Di negara Barat, lard dan tallow kadang digunakan sebagai minyak penggoreng atau dicampurkan dalam minyak goreng nabati dengan tujuan untuk mendapatkan flavor (rasa dan aroma) yang baik dari bahan yang digoreng.

Bangkai, seperti ayam-ayam yang mati selama perjalanan seringkali tetap dijual ke konsumen, padahal jelas haramnya. Daging bangkai dapat dikenali dari adanya bercak-bercak darah beku yang terkumpul di beberapa bagian, hal ini terjadi karena tidak mati melalui penyembelihan maka darah ayam tidak keluar, sehingga akan terkumpul pada beberapa bagian daging. Hal yang sama bagi hewan yang matinya tidak melalui penyembelihan normal tetapi melalui penusukan jantung misalnya.

Berkaitan dengan masalah penyembelihan maka ada berbagai cara penyembelihan. Secara umum dikenal dua jenis cara penyembelihan yaitu tradisonal dan moderen. Penyembelihan tradisional yaitu seperti yang kita kenal dimana hewan dipegangi lalu dipotong urat lehernya, sedangkan penyembelihan moderen pada tahap akhir sama dengan yang tradisional tetapi diawali dengan membuat pingsan lebih dulu hewan yang akan dipotong yaitu dengan cara pembiusan dengan bahan kimia, pemingsanan dengan aliran listrik, dan pemingsanan dengan penembakan. Cara pemingsanan yang terakhir ini perlu perhatian yang seksama karena jika tidak cepat penyembelihannya maka hewannya keburu mati sebelum disembelih. Cara-cara penyembelihan seperti dikemukakan di atas masih dibenarkan oleh syariat Islam (kecuali penyembelihan melalui penusukan jantung), asalkan pada waktu menyembelih dibacakan basmallah. Masalahnya, secara fisik daging yang disembelih dengan cara yang sama tetapi dengan tidak dibacakan basmallah akan sama saja dengan yang dibacakan basmallah, tidak dapat dibedakan sama sekali. Oleh karena itu, untuk itu diperlukan proses sertifikasi dan pengawasan yang ketat terhadap rumah-rumah potong hewan, khususnya rumah potong ayam yang banyak tersebar dengan skala dari mulai kecil sampai besar, sedangkan rumah potong hewan besar relatif lebih terkontrol karena biasanya dilakukan di pejagalan dengan pengawasan yang cukup ketat.

Apabila terjadi pencampuran daging, misal untuk kasus daging impor sapi yang dicampur dengan daging babi, maka seperti telah disebutkan di atas, akan sulit bagi awam untuk mengenalinya. Akan tetapi, adanya pencampuran daging sapi dengan babi atau lemak sapi dengan lemak babi masih dapat dikenali melalui pemeriksaan yang teliti di laboratorium, walaupun tidak mudah (mengenai detail cara pemeriksaan laboratorium akan dibicarakan pada kesempatan lain). Di samping itu, setiap jenis analisis laboratorium selalu mempunyai keterbatasan yang disebut dengan limit deteksi, yaitu suatu batas dimana di bawah nilai limit deteksi kita tidak dapat memastikan apakah terjadi pencampuran atau tidak. Oleh karena itu, secara umum cara pemeriksaan laboratorium merupakan langkah akhir yang ditempuh dalam suatu pemeriksaan kehalalan karena masalah halalnya suatu bahan tidak dapat disebut 10% halal, 50% halal, dst, tetapi hanya ada dua kategori yaitu halal dan haram. Selain itu, tercampur sedikit saja dengan daging babi, maka daging sapi yang tercampur tersebut menjadi haram, jadi dalam hal ini analisis yang dilakukan harus mempunyai limit deteksi 0%, secara teoritis hal ini tidak mungkin. Dengan demikian, analisis laboratorium hanya dapat menyarankan, tidak dapat memastikan.

Permasalahan akan lebih kompleks apabila yang dianalisa produk olahan dimana sifat-sifat daging atau lemak segar sudah berubah dan tercampur dengan bahan-bahan lain yang banyak sekali jumlahnya, jelas hal ini akan sangat menyulitkan deteksi adanya pencampuran, bahkan dapat dikatakan tidak mungkin untuk mendeteksinya pada kebanyakan kasus. Hal yang lebih kompleks lagi terjadi pada kasus bahan tambahan makanan seperti akan diuraikan kemudian karena asal bahan tidak mudah ditelusuri melalui analisis laboratorium. Oleh karena itu, perlu diketahui oleh umum bahwa analisis laboratorium untuk mendeteksi adanya daging atau lemak babi pada bahan pangan olahan sangat kecil kemungkinan keberhasilannya, yang masih memungkinkan adalah untuk bahan pangan hewani segar, itu pun tidak mudah, memerlukan keahlian khusus dan peralatan khusus. Oleh karena itu, penulis menyangsikan jika ada lembaga sertifikasi swasta yang mengaku dapat melakukan sertifikasi halal melalui proses analisis laboratorium sebagai andalan dengan alasan-alasan yang telah dikemukakan di atas. Untuk laboratorium-laboratorium yang ada di perguruan tinggi dan lembaga penelitian pemerintah, analisis pencampuran pada bahan pangan segar masih memungkinkan karena pada lembaga-lembaga tersebut memiliki peralatan yang memadai, walaupun tersebar di berbagai laboratorium atau bagian, dan dengan catatan pula memiliki tenaga ahli yang kompeten di bidang analisis dan kimia pangan (sebagai catatan, sebagai seorang ahli kimia pangan penulis mengetahui bahwa doktor ahli analisis dan kimia pangan di perguruan tinggi dan lembaga penelitian pemerintah masih sedikit, apalagi di swasta, oleh karena sangat beralasan jika penulis menyangsikan kemampuan swasta dalam masalah ini, tidak seperti yang digembar-gemborkan di media massa sebelum ini mengenai kemampuan yang swasta miliki, dalam hal ini lembaga sertifikasi swasta).
 

2.2) Bahan Pangan Hewani Olahan
  Banyak sekali produk olahan hewani (selain ikan, telur dan susu olahan) ini, di antaranya: sosis, daging kaleng (kornet), salami, meat loaf, steak, dendeng (hati-hati sekarang sudah diproduksi dendeng babi di Indonesia, hanya saja penulis tidak mengetahui dengan pasti apakah produk ini khusus untuk impor atau juga beredar di Indonesia), dll. Dengan demikian, kehalalan produk olahan ini tidak hanya bergantung pada bahan utamanya saja (dagingnya), akan tetapi sangat bergantung kepada bahan tambahan yang digunakan dalam pembuatan produk olahan tersebut. Dari semua jenis produk olahan hewani tersebut, yang termasuk paling rawan dari segi kehalalannya ialah sosis. Oleh karena itu, sosis akan dibahas lebih lanjut dalam tulisan ini.

Di Jerman, khususnya dan negara Barat umumnya terdapat aturan penamaan sosis ini. Penulis ambilkan contoh aturan penamaan yang berlaku di Jerman:

Penamaan sosis menjadi lebih kompleks untuk produk-produk pate atau dapat diterjemahkan sebagai sosis pasta atau sosis pasta hati. Masalah dengan penamaan sosis pasta ini yaitu seringkali nama tidak menggambarkan kandungan yang sebenarnya. Sebagai contoh, sosis pasta sapi tidak hanya mengandung bahan-bahan dari sapi saja tetapi dapat hatinya berasal dari babi, begitu juga lemaknya (lihat Tabel 1). Sebagai informasi, hati babi lebih disukai dari hati sapi karena hati sapi rasanya pahit. Tabel 1. Contoh nama yang tidak menjamin kandungan yang sebenarnya*  
Nama Produk
Bahan Baku
Sosis sapi daging sapi 

lemak (bisa sapi atau hewan lainnya) 

tetelan babi

Pasta hati angsa hati angsa 

daging babi 

lemak babi atau angsa

Pasta hati unggas umumnya (ayam, kalkun, angsa) daging babi 

daging unggas 

lemak (bisa babi atau hewan lainnya) 

hati (bisa hati unggas, bisa juga hati babi) 

jantung unggas, dll

*Wihelm (1987) Dengan demikian, diperlukan ketelitian yang sangat tinggi terhadap pemeriksaan kehalalan sosis-sosis impor yang masuk ke Indonesia, dan hal ini hanya bisa dilakukan oleh ahlinya, jika tidak awam tidak akan tahu komposisi yang sebenarnya. Di samping itu, masalah lainnya tentu saja perlu juga jelas bagaimana penyembelihan hewan-hewan yang digunakan untuk membuat sosis tersebut. 2.3) Produk Samping Pemotongan Hewan Produk samping pemotongan hewan dapat berupa darah, kulit, tulang, daging sisa dan turunan-turunannya. Seringkali keberadaan produk-produk ini menjadi masalah terhadap kehalalan produk olahan, sayangnya keberadaannya tidak dapat dilihat atau dirasakan secara fisik, juga tidak mudah atau sangat sulit sekali (nyaris tidak mungkin) untuk mendeteksinya melalui analisis laboratorium. Dengan kemajuan teknologi sekarang ini, penggunaan produk-produk ini sudah sangat luas seperti akan dijelaskan pada tulisan berikut ini.

Darah

Di beberapa daerah di Indonesia darah beku (dikenal dengan nama dadih atau marus) dimakan dengan diolah dengan digoreng atau direbus, padahal jelas haramnya. Di negara-negara Eropa darah juga dimakan, namun jarang dalam bentuk dadih tetapi dibuat menjadi produk sejenis sosis. Di Jerman dikenal berbagai bentuk sosis yang menggunakan bahan baku darah seperti sosis Thueringer, sosis lidah, sosis darah dan tetelan, dll.

Di samping langsung diolah menjadi dadih dan sosis darah, darah dapat juga dikeringkan langsung dan diolah menjadi tepung darah yang berfungsi baik sebagai bahan pakan (makanan ternak) ataupun ditambahkan ke dalam pangan olahan tertentu dengan maksud untuk mempertinggi nilai gizinya, misal untuk meningkatkan kadar besinya (darah banyak mengandung zat besi), dapat pula untuk meningkatkan kadar proteinnya. Di samping itu, tepung darah dapat berfungsi sebagai bahan pengikat atau bahan pengisi yang dapat memperbaiki flavor ataupun mutu pangan olahan, misalnya darah kering sering ditambahkan ke dalam sosis agar warna sosis dan daya ikat air sosis menjadi lebih baik.

Darah juga diproses lebih lanjut, misalnya dipisahkan plasma darah dan serum darahnya, lalu dikeringkan menjadi plasma darah kering yang siap digunakan sebagai bahan pembantu dalam proses pengolahan pangan selanjutnya. Sebagai contoh, bovine plasma protein isolate (isolat plasma darah) digunakan untuk menggantikan sebagian tepung gandum pada pembuatan roti, juga dapat digunakan sebagai bahan pengganti sebagian putih telur pada pembuatan kue.

Dari darah juga dapat dihasilkan konsentrat globin yang dapat digunakan sebagai pengganti sebagian daging tanpa lemak pada produk patty (meat pie). Produk lain yang dapat dihasilkan dari darah yaitu yang disebut gel fibrin yang dapat ditambahkan pada daging mentah sehingga membentuk reformed meat products. Daging yang dibuat dengan menambahkan gel fibrin disebut super glue steaks dan telah dipasarkan di Inggris. Darah, terutama darah kering juga dapat digunakan sebgai pewarna merah dalam makanan.

Kulit dan Tulang

Kulit merupakan produk samping yang kaya akan protein kolagen dan mempunyai sifat-sifat khusus. Untuk hewan besar seperti sapi, kerbau dan kuda, umumnya kulitnya digunakan sebagai kulit samak. Kulit pada bagian luar disamak dan selanjutnya dibuat menjadi barang-barang kerajinan. Kulit bagian dalam (sisa dari penyamakan), umumnya dikumpulkan dan diproses lebih lanjut menjadi casing (selongsong sosis). Untuk pembuatan selongsong sosis diperlukan teknologi tinggi dan padat modal, sehingga umumnya hanya dilakukan oleh industri besar, juga memerlukan bahan baku yang banyak dan kontinyu penyediaannya.

Untuk hewan kecil, terutama kulit babi, di samping diolah langsung menjadi bahan sejenis sosis yang transparan, juga sebagian besar diproses lebih lanjut menjadi gelatin. Perlu diketahui, pada prinsipnya gelatin dapat dibuat dari bahan yang kaya akan kolagen seperti kulit dan tulang baik dari babi maupun sapi. Akan tetapi, apabila dibuat dari kulit dan tulang sapi, prosesnya lebih lama dan memerlukan air pencuci/penetral (bahan kimia) yang lebih banyak, sehingga kurang berkembang. Akan tetapi, sekarang gelatin sapi pun sudah mulai di produksi di negara-negara muslim karena kebutuhannya semakin mendesak untuk menggantikan gelatin dari babi.

Dari cara pembuatannya, ada dua jenis gelatin yaitu gelatin tipe A dan tipe B. Gelatin tipe A adalah gelatin yang umumnya dibuat dari kulit hewan muda (terutama babi), sehingga proses pelunakannya dapat dilakukan dengan cepat yaitu dengan sistim perendaman dalam larutan asam (A=acid). Gelatin tipe B adalah gelatin yang diolah ari bahan baku yang keras seperti dari hewan tua dan tulang, sehingga proses perendamannya perlu lama dan larutan yang digunakan yaitu larutan basa (B=base). Oleh karena itu, keliru jika orang menganggap B adalah singkatan dari Beef (sapi).

Penggunaan gelatin sangat luas, bukan hanya pada produk pangan, tetapi juga pada produk farmasi dan kosmetika (lihat Tabel 2). Hal ini dikarenakan gelatin bersifat serba bisa, yaitu bisa berfungsi sebagai bahan pengisi, pengemulsi (emulsifier), pengikat, pengendap, pemerkaya gizi, sifatnya juga luwes yaitu dapat membentuk lapisan tipis yang elastis, membentuk film yang transparan dan kuat, kemudian sifat penting lainnya yaitu daya cernanya yang tinggi.

  Tabel 2. Contoh-contoh produk yang biasa menggunakan gelatin (perlu diketahui bahwa fungsi gelatin pada produk pangan olahan pada kebanyakan kasus dapat digantikan dengan bahan lain, jadi untuk produk-produk yang disajikan dalam tabel tidak berarti pasti mengandung gelatin, hanya mungkin mengandung gelatin, untuk memastikannya diperlukan pemeriksaan yang teliti, dengan demikian produk yang sudah diteliti dan disertifikasi oleh LP-POM MUI misalnya, tentunya telah terjamin kehalalannya).
 
Jenis Produk
Fungsi dan contoh produk
Produk pangan secara umum sebagai zat pengental, penggumpal, membuat produk menjadi elastis, pengemulsi, penstabil, pembentuk busa, menghindari sineresis, pengikat air, memperbaiki konsistensi, pelapis tipis, pmerkaya gizi.
Daging olahan Untuk meningkatkan daya ikat air, konsistensi dan stabilitas produk sosis, kornet, ham, dll.
Susu olahan Untuk memperbaiki tekstur, konsistensi dan stabilitas produk dan menghindari sineresis pada yoghurt, es krim, susu asam, keju cottage, dll.
Bakery Untuk menjaga kelembaban produk, sebagai perekat bahan pengisi pada roti-rotian, dll.
Minuman Sebagai penjernih sari buah (juice), bir, dan wine.
Buah-buahan Sebagai pelapis (melapisi pori-pori buah sehingga terhindar dari kekeringan dan kerusakan oleh mikroba) untuk menjaga kesegaran dan keawetan buah.
Farmasi Pembungkus kapsul atau tablet obat.
Film Membuat film menjadi lebih sensitif, sebagai pembawa dan pelapis zat warna film.
Kosmetika (khususnya produk-produk emulsi) Digunakan untuk menstabilkan emulsi pada sampo, penyegar dan pelindung kulit (lotion/cream), sabun (terutama yang cair), lipstik, cat kuku, busa cukur, krim pelindung sinar matahari, dll.
  Daging Sisa

Pada proses deboning (penghilangan tulang dari daging) masih cukup banyak daging yang menjadi limbah, demikian juga dari hasil pemotongan daging, seringkali masih tersisa daging yang masih dapat dimanfaatkan lebih lanjut. Telah dilaporkan bahwa daging sisa tersebut dapat difraksinasi menjadi isolat-isolat protein seperti salt soluble protein (SSP), insoluble myofibrillar protein (IMP) dan connective tissue protein (CTP) yang masing-masing mempunyai sifat fungsional tertentu yang telah digunakan pada pembuatan sosis. Isolat protein tersebut dapat pula berasal dari mince pork (daging babi giling). Di samping itu, daging sisa ini dapat dibuat menjadi ekstrak daging (meat extract) yang dapat digunakan untuk pembuatan perisa (flavor) daging. Sayangnya, penulis belum mengetahui dengan pasti apakah ekstrak daging ini telah dipasarkan secara komersil dan digunakan dalam pengolahan pangan. Walaupun demikian, tidak tertutp kemungkinan bahwa di masa datang produk tersebut menjadi bagian dari makanan olahan yang kita konsumsi sehari-hari.

Ada pula yang disebut dengan meat protein concentrate (konsentrat protein daging) yang dibuat dari daging sisa. Selain itu ada pula protein hidrolisat yang dibuat dari kepala ayam dan digunakan untuk ingredien sosis, suplemen pada sup, minuman dan produk bakery. Di Jerman telah dibuat hidrolisat protein kolagen (biasanya dari tulang) yang digunakan pada pate, spread dan ready meals.

2.4) Beberapa Produk yang Mengandung Lemak Hewani atau Turunan Lemak Hewani
  Pada produk-produk pangan dengan sistem emulsi (di samping bahan-bahan lain, mengandung campuran minyak atau lemak dengan air) sangat besar kemungkinan ditemui adanya pengemulsi (emulsifier) karena sangat dibutuhkan untuk menstabilkan sistem emulsinya. Contoh produk ini yaitu margarin, spread, es krim, desserts beku, cake, pudding, dll. Pada margarin sering digunakan pengemulsi monogliserida, digliserida yang dapat berasal dari lemak hewani, akan tetapi akhir-akhir ini banyak pula yang menggunakan pengemulsi lesitin yang berasal dari kacang kedele. Pada produk spread dapat mengandung gelatin dan monogliserida.

Shortening adalah campuran berbagai jenis minyak dan lemak yang digunakan untuk melembutkan produk bakery, cake dan dry mix. Bahan dasar pembuatan shortening yaitu minyak nabati, lemak hewani (lemak babi dan lemak sapi) dan minyak ikan. Dengan demikian shortening sangat rawan dipandang dari segi kehalalannya. Akan tetapi, bersyukur kita sekarang karena sudah ada shortening yang dibuat dari bahan dasar minyak kelapa sawit saja yang di pasaran dikenal dengan mentega putih. Walaupun demikian, dapat dibayangkan betapa rawannya kehalalan produk-produk pangan yang masuk ke Indonesia, padahal secara fisik dan analisis laboratorium sangat sulit mengenali adanya lemak-lemak hewani atau turunannya tersebut.

Yang paling menyulitkan dalam penentuan halal tidaknya suatu produk ialah apabila produk yang bersangkutan mengandung bahan aditif yang dapat berasal dari hewan, sebagai contoh adalah pengemulsi. Pengemulsi yang sering digunakan di antaranya ialah turunan trigliserida, asam lemak dan gliserol, baik dalam bentuk monogliserida, digliserida, garam asam lemak, dll. Trigliserida, asam lemak dan gliserol dapat berasal dari lemak hewani, dalam hal ini yang paling banyak di negara Barat ialah lemak babi. Akan tetapi, gliserol dapat berasal dari hasil samping pembuatan sabun (masih belum dapat dijamin halal karena bahan dasarnya juga berasal dari lemak dan dapat berasal dari lemak hewani), pembuatan lilin, dan hasil sintesis dari bahan dasar minyak bumi. Di samping itu, asam lemak pun dapat dihasilkan dari sintesis kimia. Masalahnya, bagaimana mengenali asam lemak atau gliserol yang berasal dari hewani dan yang berasal dari hasil sintesis kimia. Apalagi jika asam lemak atau gliserol tersebut telah direaksikan lagi dengan senyawa lain membentuk senyawa baru. Sebagai contoh, monostearin adalah monogliserida yang dapat dihasilkan dari reaksi antara gliserol dengan asam stearat (anggap keduanya hasil sintetis kimia), akan tetapi dapat pula berasal dari hidrolisis trilgiserida lemak hewani. Bagaimana membedakan asal keduanya, tentu saja tidak mudah, secara fisik jelas tidak bisa sama sekali. Melalui analisis laboratorium mungkin masih dapat membedakannya pada tingkat tertentu, misalnya dengan mendeteksi adanya isotop 14C, atau rasio isotop 13C dengan 12C. Hal ini dapat dilakukan karena gliserol hasil sintesis kimia berasal dari minyak bumi yang mempunyai komposisi isotop karbon yang berbeda dengan yang terdapatpada hewan. Walaupun demikian, jelas hal ini memerlukan peralatan canggih dan keahlian tinggi, apakah Indonesia telah memiliki alat dan keahlian yang diperlukan? Dalam beberapa hal mungkin dapat dilakukan di Indonesia, tetapi jelas memerlukan waktu, biaya dan usaha yang besar. Itu baru satu kasus saja, yang masih mungkin dipecahkan melalui analisis laboratorium. Akan tetapi, apabila kita ingin membedakan yang mana yang berasal dari minyak nabati dan mana yang berasal dari lemak hewani, jelas hal ini akan sangat sulit sekali, bahkan bisa jadi tidak mungkin. Oleh karena itu, analisis laboratorium tidak dapat dijadikan andalan, hanya pelengkap pada kasus-kasus tertentu saja, sedangkan metode pemeriksaan halal yang sebaiknya akan dikemukakan pada seri tulisan ketiga yaitu mengenai sertifikasi.

3) Bahan Tambahan Makanan (Aditif Makanan)

Beberapa bahan tambahan makanan telah dibahas pada bagian produk hewani. Beberapa lagi yang diragukan kehalalannya (perlu diteliti lebih lanjut) dapat dilihat pada Tabel 3 (pada Tabel 3 terdapat pula daftar bahan tambahan makanan yang sudah dibahas sebelumnya dengan maksud untuk melengkapi informasi yang telah disampaikan). Keraguan akan kehalalan bahan-bahan tersebut berasal dari kemungkinan bahwa bahan tambahan tersebut berasal dari bahan hewani yang diharamkan atau minuman yang memabukkan. Nomor yang menyertai nama bahan tersebut adalah kode yang berlaku di negara Masyarakat Eropa, secara umum semua kode bahan tambahan makanan diawali dengan E, kemudian digit pertama menunjukkan kelompoknya, apakah pengawet, pengemulsi, antioksidan, dll.

Dari Tabel 3 terlihat banyak sekali pangan olahan yang perlu diwaspadai kehalalannya karena bahan tambahan makanannya yang masih perlu diteliti. Walaupun demikian, kembali perlu ditegaskan, tidak berarti pasti haram karena bahan-bahan pengganti yang halal juga sudah banyak dan pembuatannya tidak harus melalui jalan yang dijelaskan dalam tabel, karena masih mungkin ada berbagai alternatif seperti telah dibahas untuk kasus pengemulsi.

Ada satu jenis bahan tambahan makanan yang juga rawan kehalalannya (beberapa), sayangnya bahan ini banyak dipakai pada makanan olahan, bahan tambahan tersebut yaitu perisa (flavourings). Kekhawatiran ini disebabkan oleh karena beberapa hal, yaitu: 1) pelarut yang digunakan di antaranya etanol dan gliserol, 2) bahan dasar pembuatannya, 3) asal bahan dasar yang digunakan. Sebagai contoh, untuk menghasilkan flavor daging diperlukan base yang dibuat dari hasil reaksi asam amino atau protein hidrolisat, gula dan kadang-kadang lemak atau turunannya. Selain itu, pada waktu formulasi untuk flavor ayam misalnya (sering digunakan untuk mie instan, sup ayam, kaldu ayam, produk chiki (ekstrusi), dll), seringkali diperlukan lemak ayam, sehingga perlu jelas dari mana asalnya. Contoh lain lagi, untuk flavor mentega diperlukan bukan hanya bahan-bahan kimia tunggal pembentuk aroma mentega, tetapi juga asam-asam lemak untuk membentuk rasa dan mouthfeel, tentu saja perlu jelas dari mana asam lemaknya. Itu hanya dua contoh saja, perlu disadari bahwa jenis flavor ini jumlahnya ratusan, terbuat dari ribuan senyawa kimia bahan dasar, di samping pelarut, pengemulsi, enkapsulan, penstabil, dan aditif lainnya. Bisa dibayangkan bagaimana repotnya mengaudit kehalalan bahan flavor ini, bukan pekerjaan mudah dan kembali memerlukan keahlian dan bekal pengetahuan yang tinggi di bidang ini, tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang.

 
Tabel 3. Bahan tambahan makanan yang termasuk kelompok diragukan kehalalannya (syubhat)**
No.
Nama bahan dan kode
Asal/pembuatan
Fungsi
Contoh produk yang menggunakan
1 Potasium nitrat (E252) Dapat dibuat dari limbah hewani atau sayuran Pengawet, kuring, mempertahankan warna daging Sosis, ham, Dutch Cheese
2a L-(+)-asam tartarat (E334) Kebanyakan sebagai hasil samping industri wine Antioksidan, pemberi rasa asam Produk susu beku, jelly, bakery, minuman, tepung telur, wine, dll.
2b Turunan-turunan asam tartarat E335, E336, E337, E353 (dari E334) Dapat berasal dari hasil samping industri wine antioksidan, buffer, pengemulsi, dll sama dengan di atas
3 Gliserol/gliserin (E422) Hasil samping pembuatan sabun, lilin dan asam lemak dari minyak/lemak (dapat berasal dari lemak hewani) pelarut flavor, menjaga kelembaban (humektan), plasticizer pada pengemas Bahan coating untuk daging, keju, cake, desserts, dll
4 Asam lemak dan turunannya, E430, E431, E433, E434, E435, E436 Dapat berasal dari turunan hasil hidrolisis lemak hewani Pengemulsi, penstabil, E343:antibusa Produk roti dan cake, donat, produk susu: es krim, desserts beku; minuman, dll
5 Pengemulsi yang dibuat dari gliserol dan/atau asam lemak (E470 - E495) Dapat dibuat dari hasil hidrolisis lemak hewani untuk menghasilkan gliserol dan asam lemak Pengemulsi, penstabil, pengental, pemodifikasi tekstur, pelapis, plasticizer, dll Snacks, margarin, desserts, coklat, cake, puding
6 Edible bone phosphate (E542) Dibuat dari tulang hewan Anti caking agent, suplemen mineral Makanan suplemen
7 Asam stearat Dapat dibuat dari lemak hewani walaupun secara komersil dibuat secara sintetik Anticacking agent  
8 L-sistein E920 Dapat dibuat dari bulu hewan/unggas dan di Cina dibuat dari bulu manusia Bahan pengembang adonan, bahan dasar pembuatan flavor daging Tepung dan produk roti, bumbu dan perisa (flavor)
9 Wine vinegar dan malt vinegar Masing-masing dibuat dari wine dan bir pemberi flavor bumbu-bumbu, saus, salad
**Sumber: Hansen dan Marsden, 1987. E for Additives. Thorsons, England.

Sebagai kesimpulan, kehalalan suatu produk pangan pada era global ini menjadi kompleks, memerlukan penanganan yang serius karena banyak kemungkinan yang dihadapi yang dapat sampai haramnya atau halalnya suatu produk pangan. Di samping itu, pekerjaan pemeriksaan kehalalan suatu produk pangan tidak bisa sembarangan, memerlukan ketelitian tinggi, memerlukan pengetahuan asal usul bahan dan proses pengolahan pangan itu sendiri, dan yang terpenting analisis laboratorium tidak dapat dijadikan andalan menentukan kehalalan suatu produk pangan. Mungkin bekal yang terpenting yang berkaitan dengan bahan ialah pengetahuan yang mendalam mengenai bahan itu sendiri. Di samping itu, diperlukan metode pemeriksaan yang tepat dan pembentukan sistem jaminan halal yang handal. Kedua hal terakhir itulah yang akan dibicarakan pada seri ketiga tulisan ini.

 

3. Sertifikasi
 
Seperti telah dijelaskan pada Bab 2 tulisan ini, penentuan halal tidaknya suatu produk makanan dan minuman pada era global ini tidaklah sederhana, bahkan dapat dikatakan memiliki tingkat kesulitan yang tinggi. Hal ini dapat terjadi karena begitu banyaknya bahan utama dan bahan tambahan yang digunakan untuk memproduksi suatu makanan dan minuman dengan asal bahan yang kebanyakan diperoleh dari negara-negara Barat atau negara nonmuslim lainnya yang banyak memproduksi babi dan produk turunannya, serta hewan yang tidak disembelih menurut syariat Islam dan produk turunannya, di samping memproduksi minuman beralkohol. Oleh karena itu, masyarakat muslim di Indonesia yang mayoritas (88%), harus dilindungi haknya, yaitu hak untuk mendapatkan makanan dan minuman yang halal karena hal ini sangat penting bagi muslim. Menurut keimanan Islam, semua bagian tubuh yang berasal dari barang yang haram tempatnya adalah neraka.

Ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk menjamin hak mendapatkan makanan dan minuman yang halal, pertama adanya jaminan undang-undang yang melindungi hal tersebut. Alhamdulilah, Undang-Undang Pangan telah diberlakukan dimana salah satu pasal, yaitu tentang label dinyatakan bahwa pencantuman label halal merupakan jaminan bahwa makanan dan minuman yang diberi label tersebut adalah halal menurut syariat Islam dan merupakan tanggung jawab produsen yang memproduksi makanan atau minuman tersebut. Dengan pasal ini, ada yang menginterpretasikan bahwa pencantuman label halal merupakan hak produsen sepenuhnya untuk mempertanggungjawabkan apa yang telah dinyatakan dengan label tersebut, sehingga pencantuman label halal dapat dilakukan oleh produsen sendiri tanpa melalui pemeriksaan pihak yang berwenang.

Jika pencantuman label halal menjadi tanggungjawab produsen sepenuhnya tanpa melalui pemeriksaan oleh pihak yang berwenang berlaku, maka akan sangat membahayakan konsumen karena konsumen berada pada pihak yang sangat lemah dan yang kritis, sangat bertentangan dengan aturan pelabelan yang berlaku di seluruh dunia. Pertama, adalah hal yang sangat wajar dan berlaku dimana pun, bahwa apapun yang dinyatakan dalam label oleh produsen telah melalui suatu pemeriksaan oleh pihak yang berwenang. Sebagai contoh, merek dagang, komposisi, khasiat, dll, semuanya tidak dapat dicantumkan begitu saja oleh produsen tanpa melalui pemeriksaan dan persetujuan oleh pihak yang berwenang (di Indonesia, dalam hal ini dilakukan oleh Ditjen POM, Depkes). Jika label halal boleh dicantumkan oleh produsen tanpa melalui pemeriksaan dan sertifikasi oleh pihak yang berwenang, maka hal ini sangat tidak logis dan bertentangan dengan aturan umum yang sudah berlaku, apalagi masalah halal merupakan masalah yang sangat sensitif bagi umat Islam. Masalah kedua, jika hanya produsen yang mengetahui komposisi dan asal usul serta cara memproduksi makanan dan minuman yang diproduksinya, bagaimana pihak yang berwenang dan konsumen mengetahui komposisi dan asal usul bahan yang digunakan serta cara memproduksi suatu produk, dengan kata lain, bagaimana kita mengetahui kehalalan produk tersebut? Dengan demikian, kehalalan suatu produk sangat bergantung pada tingkat pengetahuan, baik ilmu pengetahuan mengenai bahan dan asal usul bahan juga hukum Islam, dan kejujuran pihak produsen. Jelas hal ini sangat merugikan konsumen dan menempatkan produsen pada posisi yang sangat menentukan hajat orang banyak, padahal kita mengetahui (seperti telah dijelaskan pada tulisan seri kedua) bahwa penentuan kehalalan sangatlah rumit dan memerlukan tingkat pengetahuan yang tinggi baik ilmu pengetahuan maupun hukum Islam serta keimanan (Islam) yang tinggi. Apakah syarat tersebut dapat terpenuhi oleh sebagian besar produsen makanan dan minuman di Indonesia? Jelas tidak, walaupun banyak produsen makanan dan minuman skala kecil adalah pengusaha muslim, akan tetapi tingkat pengetahuan bahan dan asal usul bahan mereka dapat dikatakan rendah, sehingga akan sulit sekali mengetahui mana bahan yang halal dan mana yang tidak dengan tingkat kompleksitas asal usul bahan seperti yang ada sekarang ini. Dengan demikian, pendapat yang mengatakan bahwa produsen dapat ditindak apabila apa yang dinyatakannya (halalnya suatu produk) ternyata diketahui salah di kemudian hari, adalah sangat lemah, karena bagaimana konsumen atau pihak yang berwenang mengetahui kehalalan suatu produk apabila mereka tidak mengetahui komposisi dan asal usul bahannya bahkan cara memproduksinya, dengan kata lain bagaimana mengetahui kehalalannya jika tidak dilakukan pemeriksaan terlebih dahulu?

Mari kita bandingkan konsep jaminan mutu yang dikeluarkan oleh ISO (International Standard Organisation) yang kita kenal dengan nama ISO 9000, 9002, dll, yang intinya bahwa mutu suatu produk dapat dijaga sepanjang sistem manajemen jaminan mutu yang telah ditetapkan ISO telah dilaksanakan. Untuk dapat menentukan bahwa suatu produsen telah melaksanakan suatu sistem manajemen jaminan mutu yang telah ditetapkan oleh ISO telah dilaksanakan maka produsen tersebut diperiksa dulu segala sesuatunya yang berkaitan dengan sistem manajemen tersebut oleh suatu badan yang berwenang. Apabila memenuhi kriteria-kriteria yang telah ditetapkan, maka produsen ybs dapat diberi sertifikat yang menjamin bahwa produsen ybs telah menjalankan sistem manajemen jaminan mutu yang telah ditetapkan, yang berarti produsen ybs telah dapat menjamin bahwa produk yang dihasilkannya telah memenuhi persyaratan mutu yang berlaku yang relatif terjamin dan terjaga sepanjang waktu yang telah ditetapkan dalam sertifikat. Jika untuk menjamin mutu saja harus melalui pemeriksaan yang ketat seperti itu, bagaimana mungkin penentuan kehalalan suatu produk hanya diserahkan kepada produsen ybs ??, jika hal itu berlaku jelas sangat tidak logis, apalagi masalah halal sangat berkaitan erat dengan masalah keimanan.

Sebetulnya interpretasi lebih lanjut tentang pasal label halal yang terdapat dalam Undang-Undang Pangan, dapat berarti bahwa produsen, dalam rangka pencamtuman label halal yang menjamin kebenaran apa yang dinyatakannya memerlukan pihak kedua untuk memeriksanya. Hal ini bisa dijelaskan dalam peraturan pemerintah dimana untuk menyatakan dan mencantumkan label halal suatu produsen harus mendapatkan sertifikat halal dari pihak yang berwenang (melalui suatu pemeriksaan yang seksama) bagi produk yang akan diberi label tersebut, dan peraturan ini menurut hemat penulis sama sekali tidak bertentangan dengan Undang-Undang Pangan, bahkan sangat sejalan dengan peraturan pelabelan yang selama ini berlaku.

Berdasarkan apa yang telah dijelaskan di atas mengenai peraturan pelabelan halal, maka hal kedua yang dapat dilakukan untuk menjamin hak muslim untuk mendapatkan makanan dan minuman halal ialah adanya pihak yang berwenang yang mampu memeriksa kehalalan suatu produk dengan benar dan jujur yang dapat menjamin kehalalan suatu produk berdasarkan hasil pemeriksaannya tersebut. Hal ini sama dengan yang dilakukan oleh ISO dalam hal jaminan mutu suatu produk yaitu ada suatu lembaga yang berwenang yang memeriksa suatu produsen apakah telah menerapkan persyaratan-persyaratan yang telah ditetapkan untuk menjamin mutu produk yang dihasilkan. Melalui pemeriksaan ini maka jenis dan asal usul bahan untuk membuat suatu produk serta cara memproduksinya diketahui sejak awal sehingga dapat ditentukan kehalalannya oleh para ahli yang bekerja pada lembaga yang ditunjuk.

Hal ketiga yang dapat dilakukan agar hak muslim mendapatkan makanan dan minuman halal yaitu pihak yang berwenang bekerja keras menyusun daftar bahan baku dan bahan tambahan yang sudah diperiksa kehalalannya, jadi bukan daftar produk halal saja, akan tetapi daftar bahan baku dan bahan tambahan yang digunakan untuk membuat produk pangan. Ada satu contoh yang bisa dijadikan acuan, di Amerika Serikat ada suatu perusahaan produsen bahan-bahan kimia yang bernama Aldrich. Aldrich mengeluarkan daftar bahan kimia untuk flavor dengan tanda yang jelas mana yang kosher (halal bagi umat Yahudi) dan mana yang bukan. Dengan adanya daftar bahan baku dan bahan tambahan yang jelas kehalalannya, maka akan sangat memudahkan bukan saja produsen dalam memproduksi produk yang halal, tetapi juga pihak yang berwenang dalam menentukan kehalalan suatu produk. Tentu saja untuk membuat daftar ini memerlukan usaha yang sangat keras dan memerlukan waktu yang panjang, akan tetapi jika hal ini dilakukan akan memudahkan pekerjaan semua pihak dimasa yang akan datang.

Hal terakhir yang harus dilakukan untuk terjaminnya kehalalan suatu produk yaitu adanya suatu standar dan sistem jaminan produk halal, yaitu suatu acuan bagaimana memproduksi suatu produk halal dan bagaimana dapat mempertahankan dan menjamin produk halal tersebut dalam jangka waktu tertentu. Sebetulnya sistem jaminan produk halal ini sangat mirip dengan sistem jaminan mutu yang dikeluarkan oleh ISO (tinggal menambahkan unsur jaminan halal di samping jaminan mutu produk), bahkan kita bisa mengajukan hal ini kepada ISO supaya menjadi acuan yang dapat dipakai di seluruh dunia untuk acuan produksi makanan dan minuman halal.

Masalah besar yang dihadapi apabila saran-saran di atas dijalankan ialah siapa pihak yang berwenang yang ditunjuk sebagai lembaga yang dapat melakukan penyusunan standar dan sistem jaminan produk halal dan melakukan sertifikasi berdasarkan pemeriksaan. Tentu saja banyak pihak yang akan berkepentingan dalam masalah ini, apakah itu mewakili produsen, konsumen atau pemerintah. Telah banyak pula usulan-usulan yang diajukan oleh berbagai pihak dengan berbagai argumentasinya. Sayang sekali beberapa argumentasi tersebut dapat dikatakan lemah karena ketidaktahuan dan kekurangpengalaman si pengusul. Sebagai contoh, ada yang berpendapat bahwa penentuan kehalalan dapat ditentukan melalui pemeriksaan laboratorium, jelas hal ini tidak benar seperti telah penulis kemukakan pada seri kedua tulisan ini. Ada yang berpendapat bahwa penentuan kehalalan dapat dilakukan oleh produsen saja, tanpa melalui pemeriksaan terlebih dahulu, hal ini pun tidak dapat diterima sesuai dengan alasan-alasan yang penulis kemukakan di atas. Belum lama, ada pula yang berpendapat bahwa MUI yang mengeluarkan fatwa tentang halal yang dituangkan dalam bentuk guideline, akan tetapi lembaga pemeriksanya tidak hanya LP-POM MUI akan tetapi lembaga pemeriksa lain juga berhak memeriksa setelah diakreditasi terlebih dahulu (sayang tidak dijelaskan siapa yang berhak mengakreditasi). Pendapat terakhir ini kelihatannya cukup masuk akal, akan tetapi mengingat penentuan kehalalan bukanlah hal yang mudah, mmerlukan kriteria-kriteria yang ketat, maka masih perlu dikaji apakah memang secara teknis dapat dilakukan secara demikian. Sebagai bahan pertimbangan, akan dikemukakan kriteria-kriteria yang diperlukan untuk dapat menentukan siapa yang dapat menjadi lembaga pemeriksa kehalalan suatu produk dan bagaimana cara kerja seharusnya.

 
A. Kriteria

Sebelum membahas kriteria lembaga pemeriksa kehalalan, perlu dibahas dulu mengenai fatwa atau guideline. Seperti telah dikemukakan sebelumnya, masih ada perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai halal tidaknya suatu barang, selain itu dalam era global ini permasalahan halal telah menjadi kompleks akibat perkembangan teknologi yang begitu pesat. Oleh karena itu, dalam penentuan guideline ini para ahli fiqih harus bekerjasama baik antar ahli fiqih dari berbagai mahzab maupun dengan para ilmuwan dari berbagai disiplin ilmu, apabila tidak, maka tidak tertutup kemungkinan bahwa apa yang difatwakan sebenarnya tidak sesuai dengan apa yang telah digariskan dalam Al-Qur’an dan Hadits. Sebagai contoh, selama ini banyak ulama yang mengharamkan alkohol (etanol), padahal setelah dibahas pada bagian pertama tulisan ini seharusnya bukan etanol yang diharamkan tetapi minuman beralkohol dengan berbagai alasan yang telah dikemukakan. Hal ini dapat terjadi karena ulama tidak mendapatkan masukan yang tepat dan proporsional dari ilmuwan, padahal disisi lain ulama pun tidak mengetahui detil sifat-sifat fisik, kimia dan biologis dari bahan-bahan yang ada dalam minuman beralkohol, bahkan mungkin juga tidak terbayang bahwa senyawa kimia yang terdapat dalam minuman beralkohol berjumlah ratusan dan yang menyebabkan mabuk pun tidak hanya etanol. Contoh yang paling baik bagaimana kerjasama ulama dan ilmuwan dalam menetapkan suatu hukum ialah yang terjadi pada Muzakarah Minuman Beralkohol yang diselenggarakan oleh MUI sekitar 3 - 4 tahun yang lalu di masjid Istiqlal dimana penulis menjadi salah satu pesertanya. Melalui perdebatan yang sengit dan panjang antara ulama fiqih dan ilmuwan (bahkan pada sidang terakhir, yang memimpin sidang adalah ketua MUI sendiri yaitu Bapak KH. Basri), maka diputuskan dalam muzakarah tersebut bahwa yang diharamkan bukan etanol, akan tetapi minuman beralkohol dimana minuman beralkohol didefinisikan sebagai minuman yang terbuat dari hasil fermentasi sumber karbohidrat atau yang sengaja ditambahkan etanol ke dalamnya, dan minuman beralkohol hanyalah salah satu jenis dari khamar (artinya masih ada jenis-jenis khamar lainnya yang kriterianya jelas yaitu bersifat memabukkan).

Sekarang mari kita lihat kriteria lembaga yang berhak menjadi lembaga pemeriksa kehalalan. Ada beberapa kriteria yang penulis usulkan, di antaranya yaitu:

Dari kriteria yang telah disebutkan di atas, LP-POM MUI kelihatannya memang memenuhi kriteria tersebut asalkan jaringannya diperluas. Hal ini sebenarnya dapat dilakukan mengingat MUI sendiri mempunyai perwakilan-perwakilan di daerah, sehingga LP-POM MUI dapat didirikan di daerah-daerah (sekarang pun di beberapa daerah sudah ada) dimana anggotanya selain para ulama fiqih juga para ahli dengan keahlain yang telah disebutkan di atas yang berasal dari perguruan tinggi dan lembaga penelitian pemerintah. Adanya kerjasama antara ulama dan ilmuwan merupakan satu kekuatan tersendiri bagi LP-POM MUI di samping kerjasamanya dengan perguruan tinggi dan lembaga penelitian akan juga menambah sarana laboratorium yang diperlukan sebagai penunjang dalam penentuan kehalalan suatu produk, sehingga akan semakin menguatkan posisinya.

Bagaimana dengan lembaga lain seperti milik NU, Muhamadiyah, dll? Pada dasarnya sepanjang memenuhi kriteria di atas dapat saja menjadi lembaga pemeriksa. Akan tetapi, perlu diingat bahwa pemeriksaan kehalalan tidaklah sederhana, di samping itu, perlu ada kesatuan langkah, jangan sampai satu lembaga lebih longgar dari yang lain dalam memberikan sertifikat. Hal ini pernah terjadi dimana LP-POM MUI pusat tidak memberi sertifikat kepada suatu produsen lalu produsen tersebut meminta sertifikat ke LP-POM MUI daerah dan mendapatkannya, jelas hal ini merugikan dan menurunkan kredibilitas lembaga pemeriksa. Kesatuan langkah ini sangat diperlukan, apalagi pada tahap-tahap awal pelaksanaan sertifikasi nasional ini. Oleh karena itu, sebaiknya LP-POM MUI menjadi kordinator dan lembaga yang melakukan akreditasi lembaga pemeriksa kehalalan, sedangkan lembaga-lembaga lain harus berafiliasi ke LP-POM MUI dan bekerja berdasarkan bimbingan LP-POM MUI. Saran ini didasarkan pada kredibilitas dan pengalaman LP-POM MUI dalam menangani sertifikasi halal, di samping memenuhi kriteria-kriteria di atas.

Keuntungan adanya lembaga pemeriksa yang dikordinir oleh satu lembaga pusat adalah adanya kesatuan dan keseragaman keputusan yang memang dibutuhkan untuk menghindari kebingungan umat, karena jika tidak akan menimbulkan polemik dan bahkan kontroversi. Akan tetapi, kerugiannya yaitu akan memunculkan image adanya monopoli. Oleh karena itu, untuk mengurangi kerugian tersebut maka peranan pemerintah sangat besar yaitu bertindak sebagai lembaga pengawas yang dapat melakukan pengontrolan, terutama melalui kerjasama Depag, Depkes serta MUI seperti yang telah dituangkan dalam memorandum kerjasama mereka. Sayang sekali, dalam rincian teknis kerjasama tersebut, auditor yang berasal dari Depkes akan turun bersama-sama dengan auditor dari LP-POM MUI, padahal seharusnya auditor Depkes seharusnya tidak melakukan pemeriksaan kehalalan karena alasan-alasan yang telah dijelaskan di atas yaitu tidak dapat memenuhi kriteria lembaga pemeriksa (Depkes), dikhawatirkan adanya bias dan conflict of interest dan akan memperpanjang birokrasi. Di samping itu, secara teknis tidak mudah melakukan auditing dimana auditornya berasal dari dua lembaga yang berbeda karena memerlukan koordinasi yang sangat baik sekali.

 
B. Cara Kerja

Cara kerja yang akan dibahas disini ialah cara kerja umum mengingat terbatasnya ruang pembahasan. Hal sangat penting dan paling urgen dilakukan adalah membuat guideline, dimana dalam penyusunannya dikoordinasi oleh MUI melibatkan ahli-ahli fiqih dari berbagai mahzab dan ilmuwan dari berbagai disiplin ilmu yang berkaitan dengan pangan. Di samping pedoman-pedoman bagaimana memproduksi makanan dan minuman halal, juga daftar kelompok makanan dan minuman yang haram, daftar bahan utama dan bahan tambahan makanan yang halal dan haram, juga pedoman pemeriksaan kehalalan.

Pemeriksaan kehalalan dilakukan terhadap bahan-bahan yang digunakan untuk memproduksi suatu produk pangan, cara produksi, administrasi dan manajemen. Terhadap bahan-bahan yang digunakan harus diperiksa secara teliti jenis dan asal usul bahan, sedangkan cara produksi diperiksa untuk menguatkan apa yang dilaporkan oleh produsen mengenai bahan-bahan yang digunakan di samping untuk melihat dan memastikan dari dekat cara produksi yang dilakukan telah memenuhi standar halal. Selain itu, diperiksa pula gudang penyimpanan bahan baku dan bahan tambahan serta produk, kembali maksudnya untuk memeriksa bahan-bahan yang digunakan. Kemudian untuk memperkuat kebenaran jenis bahan-bahan yang digunakan dilakukan pemeriksaan administrasi, misalnya dokumen pembelian bahan. Sistem manajemen perusahaan juga harus diperiksa, apakah telah menerapkan sistem manajemen jaminan halal, kemudian apakah telah ditunjuk siapa auditor internalnya.

Pelacakan jenis bahan dan asal usul bahan memerlukan dokumen pernyataan yang menyebutkan jenis dan asal bahan dari produsen pembuat bahan baku atau bahan tambahan, di samping akan lebih baik jika telah disertifikasi halal oleh lembaga yang berwenang yang telah diakui oleh semua organisasi Islam yang menjadi lembaga pemeriksa di seluruh dunia. Pernyataan produsen bahan baku dan bahan tambahan tidak begitu saja diterima akan tetapi dikonfirmasi dengan pengetahuan mengenai bahan tersebut dari literatur mengenai kebenarannya, di samping informasi yang dapat diperoleh dari berbagai pihak. Sebagai contoh, jika produsen menyatakan bahwa gelatin yang digunakan berasal dari tulang ikan, maka akan ditelusuri siapa pembuatnya, dimana alamatnya, kemudian ditanyakan secara langsung apakah benar memproduksi gelatin dari tulang ikan. Selain itu, melalui jaringan organisasi Islam, kebenaran informasi tersebut dicek.

Permasalahan timbul apabila menurut pengamatan auditor, produk (bahan tambahan makanan, misalnya) yang telah diberi sertifikat halal oleh suatu organisasi Islam di luar negeri ternyata belum tentu halal (syubhat) baik menurut pengalaman maupun pengetahuan yang berlaku mengenai bahan tersebut. Hal ini pernah terjadi dan menimpa penulis sendiri. Untuk kasus seperti ini harus dicari informasi mengenai kredibilitas organisasi yang memberi sertifikat halal tersebut, dan ternyata, untuk kasus yang penulis alami, dari informasi yang diperoleh (dari berbagai organisasi Islam lainnya di negara yang sama) organisasi tersebut tidak dapat dipercaya sehingga sertifikatnya tidak berlaku. Dengan demikian, ternyata kesangsian penulis dalam hal ini benar. Oleh karena itu, diperlukan kerjasama yang luas dan erat antar organisasi Islam yang bergerak dalam bidang sertifikasi halal yang tersebar di berbagai negara.

Hasil auditing kemudian dibicarakan di tingkat lembaga pemeriksa lokal sebelum diajukan ke lembaga pemeriksa pusat sebagai penentu akhir. Mekanisme kerja LP-POM MUI sekarang ini setelah dibicarakan di tingkat LP-POM MUI kemudian dibicarakan di tingkat komisi fatwa. Apabila komisi fatwa telah bekerja membuat pedoman-pedoman maka pekerjaan memeriksa hasil auditing seharusnya tidak diperlukan lagi, jika tidak tentu saja tidak akan tertangani karena jumlahnya se Indonesia akan banyak sekali. Yang seharusnya dilakukan ialah pada tingkat LP-POM MUI pusat, hasil pemeriksaan akhir dikonsultasikan ke lembaga pengawas yaitu unsur pemerintah (dalam hal ini perwakilan Depag dan Depkes atau kementerian oordinasi pangan). Apabila ada ketidaksepakatan maka proses sertifikasi harus diulang kembali.

Apabila suatu produk telah mendapatkan sertifikat halal, maka produsen dapat mengajukan permohonan pencantuman label halal (termasuk nomor sertifikat) sendiri ke Depkes karena selama ini yang mempunyai wewenang mengenai pengaturan label adalah Depkes, kecuali jika peraturannya diubah. Akan tetapi, jika Depkes telah berperan dalam keputusan akhir mengenai kehalalan suatu produk maka otomatis Depkes telah menyetujui label tersebut dan produsen hanya perlu melaporkan bahwa akan mencantumkan label halal ke Depkes dengan menyertakan sertifikat halal untuk produk yang bersangkutan. Jadi, pemberian stiker halal seperti yang diusulkan selama ini sebetulnya tidak perlu, bahkan akan merugikan banyak pihak, baik produsen maupun konsumen seperti telah banyak dibahas oleh banyak kalangan.

Demikianlah saran-saran yang dapat penulis kemukakan, semoga dapat menjadi masukan bagi pihak-pihak yang berkepentingan walaupun disadari bahwa saran-saran tersebut masih banyak mengandung kelemahan, namun demikian penulis yakin banyak hal-hal yang sebelum ini belum banyak diketahui oleh masyarakat maka dengan informasi yang penulis sampaikan pihak yang berkepentingan menjadi lebih mengetahui duduk persoalan yang sebenarnya. Mudah-mudahan rancangan peraturan pemerintah yang di antaranya mengatur masalah kehalalan ini akan dapat menampung semua aspirasi masyarakat umum dan dapat diterima oleh semua pihak (juga mewakili kepentingan semua pihak, tidak hanya produsen saja, tetapi lebih utama adalah konsumen), jangan sampai pemerintah membuat keputusan yang akan menimbulkan gejolak pada situasi yang rawan sekarang ini. Amin.

Wallahualam bissawab.