Akibat Rawan Pangan Penderita Kurang Gizi pada Bayi dan Ibu Hamil Meningkat

http://www.republika.co.id/9810/13/475.htm
 

JAKARTA -- Bahaya kekurangan pangan, kelaparan dan kekurangan gizi yang meluas di tanah air mulai menjadi ancaman serius. Dari penelitian Forum Pengkajian Pangan dan Gizi Nasional yang dibentuk LIPI, diketahui jumlah penderita kurang gizi pada bayi, balita dan ibu hamil cenderung meningkat, kata Ketua LIPI Dr Soefjan Tsauri MSc APU di Jakarta kemarin. 

 ''Apa yang dikhawatirkan sungguh terjadi seperti munculnya kembali kasus bayi HO [busung lapar --Red] yang datanya dihimpun oleh UNICEF dari RS Sutomo Surabaya dan adanya sebagian masyarakat yang kelaparan akhir-akhir ini,'' ujar Soefjan. 

 Kekhawatiran ini sesungguhnya telah diantisipasi dalam Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi di Serpong Februari lalu seperti yang tercantum dalam rekomendasi butir 11. ''Penanggulangan masalah gizi pada kelompok ibu hamil, ibu menyusui dan anak dibawah dua tahun penting sekali karena gizi pada periode tersebut tidak dapat ditebus dengan perbaikan gizi di kemudian hari,'' tegas Soefjan. 

 Karena itu, pimpinan LIPI membentuk Forum Pengkajian Pangan dan Gizi Nasional yang sifatnya independen. ''Anggotanya terdiri dari para pakar pangan dan gizi yang diundang LIPI atas nama pribadi, tidak mewakili organisasi baik masyarakat maupun pemerintah,'' ujarnya. 

 Pakar Gizi dari IPB Bogor Prof Dr Soekirman mengungkapkan satu contoh kecendrungan meningkatnya gizi buruk ditemukan di Jawa Barat. ''Ini tercatat di klinik Puslitbang Gizi Depkes Bogor. Kecenderungan pengingkatan kasus gizi buruk yang mencolok terjadi bulan Mei, Juni dan Juli 1998 yang meningkat dari 20 persen tahun 1997 menjadi 50 sampai 60 persen lebih tahun 1998,'' katanya. 

 Dampak rawan pangan pada balita, jelas Sukirman, ditemukan pula di wilayah utara Jawa Tengah. Pada wanita dampak krisis ditemukan pula di sebagian wilayah utara dan selatan Jawa Tengah. ''Di wilayah utara Jateng peningkatan prevalensi gizi buruk pada anak umur 3 tahun tercatat sekitar 8 persen tahun 1996 meningkat menjadi 12 sampai 15 persen pada 1998,'' papar Soekirman. 

 Soekirman menegaskan secara ilmiah telah dibuktikan bila masalah gizi pada anak balita dan ibu hamil dibiarkan meluas akan berakibat fatal. ''Maka dekade pertama tahun 2000 kita akan kehilangan sejumlah besar generasi dengan kualitas SDM yang tinggi karena dampak negatif dari kurang gizi tidak dapat diperbaiki atau sifatnya permanen.'' 

 Yang menarik, lanjut Soekirman, dari data peningkatan kasus gizi buruk baik di RS Sutomo maupun di pedesaan wilayah utara Jateng, dampak krisis ini lebih banyak terjadi pada anak perempuan daripada laki-laki. ''Ini memprihatinkan karena jika terjadi pada anak perempuan maka dampaknya akan terjadi pula pada keturunannya, pada bayi yang dikandungnya jika kelak mereka dewasa dan berkeluarga,'' ujarnya. 

 Dia mengaku prihatin dengan makin meningkatnya prevelansi kurang gizi karena kurang zat besi atau anemia pada ibu hamil dan balita. ''Dari data Hellen Keller Internasional (HKI) 1998 di Jateng, terjadi peningkatan kurang zat besi atau anemia pada ibu hamil sebanyak 50 persen selama 2 tahun terakhir,'' jelas Soekirman. 

 Sedangkan anemia pada anak balita yang tahun 1996 rata-rata 40 persen meningkat menjadi 60 persen tahun 1998. ''Yang mengejutkan adanya tanda-tanda munculnya kembali masalah kurang vitamin A yang telah berhasil diberantas tahun 1993. Buta senja yang 0 persen sebelum krisis menjadi 0,5 sampai 1 persen sesudah krisis,'' tandasnya. 

 Pembahasan masalah kurang gizi ini mencuat dengan munculnya kasus 'Bayi HO' oleh media massa. ''Ini memang benar terjadi. Hal tersebut menarik karena kasus gizi buruk yang istilah teknisnya marasmic-kwashiorkor terjadi terakhir kali di Indonesia akhir tahun 1970-an. Munculnya kembali kasus ini merupakan pertanda makin beratnya kemiskinan di sebagian penduduk,'' jelasnya. 

 Dia mengkhawatirkan, sambungnya, kasus gizi buruk yang muncul di RS merupakan 'puncak gunung es'. ''Artinya penderita kurang gizi di masyarakat yang tidak dibawa ke RS jumlahnya jauh lebih besar. Mungkin bisa sepuluh kali lipat, kita tidak tahu. Karena itu harus segera dilakukan pendataan sejelas-jelasnya, terutama di daerah rawan sperti di perkotaan'' tegas Soekirman. 

 Atas dasar ini, LIPI dan Forum merekomendasikan untuk menghidupkan kembali struktur sosial pada masyarakat yaitu Posyandu. ''Timbulnya bunung lapar pada balita menandakan fungsi Posyandu mulai menghilang. Jika Posyandu berfungsi baik HO tidak akan terjadi karena kondisi setiap bayi di pedesaan sekalipun termonitor dengan baik,'' ungkap Soekirman. 

 Karena itu diharapkan pemerintah tidak hanya memusatkan perhatian pada bantuan fisik seperti makanan dan uang. ''Karena itu kita pusatkan perhatian pada Posyandu dengan menyarankan sebagian dana dipergunakan untuk merevitalisasi Posyandu,'' tegasnya.